Kiai Desak Jokowi Miskinkan Koruptor

Senin, 30 Maret 2015 - 11:55 WIB
Kiai Desak Jokowi Miskinkan Koruptor
Kiai Desak Jokowi Miskinkan Koruptor
A A A
JOMBANG - Para kiai dan ulama berpengaruh di Jawa Timur (Jatim) mendukung hukuman berat terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Mereka bahkan meminta agar koruptor dimiskinkan.

Hal itu merupakan satu dari 5 poin rekomendasi yang berhasil disusun para kiai dan ulama se- Jatim dalam halaqah antikorupsi di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jatim, kemarin.

Sejumlah kiai berpengaruh hadir dalam acara itu antara lain KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), KH Fahmi Amrullah, KH Hisyam Syafaat (Ponpes Darussalam Banyuwanyi), Gus Reza Ahmad Zahid (Pengasuh Ponpes Al-Mahrusy Lirboyo, Kediri), KH Muwafiq (Ponpes Bustanul Ma’mur Banyuwangi), dan beberapa kiai lainnya dari Situbondo, Probolinggo, Sumenep, Malang, Pasuruan, Mojokerto, dan Madiun.

Tidak hanya itu, para kiai dan ulama ini juga mengundang Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie serta Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto. KH Imron Rosyadi Hamid atau Gus Imron dari Ponpes Islhiyah Malang yang ditunjuk membacakan hasil rekomendasi mengatakan, korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dibenarkan dari aspek manapun.

Karena itu, pondok pesantren sangat mendukung pemberantasan korupsi dan menentang segala bentuk pelemahan terhadapnya. Menurut dia, para kiai dan ulama se-Jatim berhasil menyusun 5 rekomendasi untuk pemberantasan korupsi. Rekomendasi itu berhasil disusun setelah melalui diskusi dan perdebatan panjang. “Rencananya rekomendasi ini akan kami serahkan kepada Presiden Jokowi,” kata Gus Imron di Jombang, kemarin.

Rekomendasi itu di antaranya, pertama, pesantren sebagai lembaga yang peduli pada kepentingan dan kemaslahatan umat berpandangan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dibenarkan dari aspekmanapundannyata-nyata merugikan umat. Karena itu, pesantren dengan tegas mendukung pemberantasan korupsi dan menentang segala bentuk pelemahan terhadapnya.

Kedua, Negara Indonesia harus diselenggarakan oleh pemimpin yang bisa menggunakan akal sehat dan hati nurani serta memiliki integritas. Karena itu, seluruh penyelenggara negara di semua tingkatan harus menunjukkan komitmennya sebagai pelopor pemberantasan korupsi.

Ketiga, dalam praktik pemberantasan korupsi terdapat intervensi kekuatan-kekuatan besar yang mencoba mengganggu proses penegakan hukum. Karena itu, dengan dukungan umat dan pesantren, presiden harus bersikap tegas dalam penanganan urusan korupsi dengan melakukan upaya- upaya politik nyata yang mengarah pada penyamaan persepsi dan penguatan institusi hukum seperti Polri, KPK, MA, Kejaksaan, dan lain-lain

“Presiden juga harus menolak segala bentuk intervensi politik pihak manapun yang mengarah pada pelemahan dan kriminalisasi terhadap lembaga maupun pegiat antikorupsi yang berpihak dan memperhatikan aspirasi rakyat,” ujarnya.

Poin keempat, mengusulkan hukuman seberat-beratnya, pemiskinan, sanksi sosial bagi koruptor, serta menolak pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi mereka. Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan lembaga antikorupsi.

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) membenarkan jika hasil halaqah ini akan disampaikan kepada presiden, DPR, serta pihak-pihak terkait. Pemberantasan korupsi, menurut Gus Solah, adalah agenda utama gerakan reformasi 1998.

Karena itu, pemerintah akhirnya membentuk KPK sebagai ujung tombak perang terhadap korupsi. Namun, keberadaan lembaga antikorupsi ini sering mendapatkan gangguan. Mulai dari era Ketua KPK Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, dan Candra Hamzah.

“Sekarang ada kasus Abraham Samad dan Bambang W. Kita tidak ingin gangguan itu terulang kembali. Karena itu, rekomendasi para kiai ini akan kita sampaikan ke presiden, DPR, dan pihak terkait lainnya,” kata Gus Solah.

Rumusan dan rekomendasi halaqah ini ditandatangani 18 kiai dan pengasuh pesantren di Jawa Timur di antaranya dari Jombang, Mojokerto, Malang, Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Madiun, dan Sumenep.

Sementara Johan Budi berharap ada sumbangsih nyata dari kiai dan ulama untuk mengokohkan kembali upaya pemberantasan korupsi. Stakeholder pemberantasan korupsi tidak mengenal entitas. “Termasuk para kiai. Kami juga mendapat masukan dari para kiai. Dan ini menjadi koreksi kami,” ungkap Johan Budi.

Menurut dia, kedatangannya sebagai undangan ini untuk menjawab permintaan para kiai. Johan pun mengaku sudah menyampaikan mengenai kondisi terkini di KPK. Dia mengapresiasi jika kemudian para kiai di Jatim ini membuat sebuah keputusan yang bermuara pada tegaknya kembali upaya pemberantasan korupsi. “Ada masukan-masukanyang bisa kami pakai untuk introspeksi,” ujarnya.

Johan menyatakan, pimpinan KPK telah berupaya mengambil langkah terkait masalah yang membelit lembaganya itu. Salah satunya terkait gelombang praperadilan yang diajukan para tersangka korupsi.

Johan menyatakan, pimpinan KPK sudah melayangkan permintaan diterbitkannya surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) agar gelombang praperadilan bisa dihentikan. “Tapi sampai saat ini belum ada jawaban dari MA,” ucapnya.

Tritus Julan
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2528 seconds (0.1#10.140)