Tantangan Adalah Motivasi

Minggu, 29 Maret 2015 - 09:54 WIB
Tantangan Adalah Motivasi
Tantangan Adalah Motivasi
A A A
Farah Angsana merupakan desainer pertama Indonesia yang berhasil menembus ajang peragaan busana paling bergengsi di dunia, Paris Fashion Week dan New York Fashion Week.

Beragam koleksi rancangan Farah ludes diborong Harrods, toko ritel kelas atas di London. Karya-karyanya hingga kini silih berganti dipajang di toko ritel busana ternama di Amerika Serikat, Neiman Marcus.

Berbagai koleksi busananya pun sudah banyak dipakai selebritas Hollywood. Sebut saja Katherine Heigl, Eva Longoria, Paula Abdul, Blake Lively, Carrie Underwood, Emmy Rossum, Ashley Tisdale, Miley Cyrus, Olivia Wilde, Jennifer Beals, Estelle, America Ferrera, Elizabeth Banks, Natasha Bedingfield, Jenna Ushkowitz, Lisa Eldestein, Guiliana Rancic, hingga Alicia Silverstone.

“Saya sangat bersyukur dan diberkati,” ujar Farah. Kurang tepat apabila Farah disebut sukses go international. Itu lantaran dia sudah sejak awal membangun karier internasionalnya di luar negeri. Berikut wawancara KORAN SINDO dengan alumnus Central School of Fashion, London, ini.

Bagaimana proses hingga berbagai koleksi fashion rancangan Anda bisa masuk tokotoko ritel kelas atas dan digunakan banyak tokoh di mancanegara?

Saya lahir di Medan, namun saya besar di Singapura, Los Angeles, dan London. Ketertarikan saya terhadap desain fashion sudah sejak kecil. Saat usia tujuh tahun, saya suka menawarkan diri untuk merancang baju bagi ibu dan kakak saya. Kemudian saya memutuskan untuk mengenyam pendidikan formal tentang desain fashion dan teknik haute couture di Central School of Fashion di London. Saya lulus pada 1992. Saya senang mempelajari bagian teknikal dalam mendesain untuk menciptakan sebuah rancangan sekaligus aspek bisnis dalam industri fashion.

Di usia 25 tahun saya menikah dengan Pius Gasser, pria kebangsaan Swiss. Barulah di usia 27 tahun saya mulai berkarier sebagai desainer fashion di London. Dari London, saya pindah ke Paris. Kalau di London saya belajar mendesain busana, di Paris saya banyak mempelajari aspek seni, keindahan, dan kemewahan busana. Sementara, di New York saya lebih banyak mempelajari aspek bisnisnya.

Apa saja tantangan saat mulai berkarier sebagai desainer di luar negeri?

Rasis, penolakan, dan diskriminasi seksual. Sebagai perempuan dan dari Asia, banyak yang menyepelekan kemampuan saya. Tapi, itu tidak membuat saya menyerah dan putus asa. Saya justru merasa tertantang untuk membuktikan kepada banyak orang bahwa saya bisa. Bagi saya, sukses datang ketika Anda menolak untuk menyerah. Ketika Anda memiliki tujuan yang sangat kuat, maka hambatan, kegagalan, dan kerugian justru menjadi motivasi.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk pindah dari London ke Paris?

Saya ingin mengejar impian masa kecil sebagai desainer internasional yang memperagakan koleksi rancangan saya di Paris.

Bagaimana Anda memulai karier di Paris hingga akhirnya berhasil memamerkan berbagai koleksi rancangan Anda di sana?

Saat itu saya harus sering pulang pergi antara Paris, Italia, dan Zurich karena telah menikah. Saya harus membagi waktu ke beberapa tempat dan untuk beberapa orang. Sesekali, suami saya mengeluh, tapi sebagai istri saya bisa memahami hal tersebut. Pada waktu itu saya sempat keliru memilih orang untuk bekerja sama di industri fashion . Hal ini memengaruhi kehidupan profesional, bahkan personal saya. Saya pun memutuskan untuk kembali ke Zurich.

Keputusan tersebut membawa perubahan besar karena saya bisa bekerja dari kantor di Zurich. Walau saya harus melakukan perjalanan bisnis ke Italia, Paris, London, New York, Los Angeles, dan India, saya tahu bahwa basis saya di Zurich, berdekatan dengan suami saya. Saat ini saya menetap di New York dan Zurich, kebanyakan pekerjaan saya lakukan di New York.

Anda menjadi desainer Indonesia pertama yang memamerkan rancangan di pentas fashion di Paris. Bagaimana Anda melihat ini?

Tentu ini menjadi kebanggaan bagi saya. Namun, untuk saat ini saya tetap bahkan akan semakin fokus pada bisnis saya. Untuk sekarang dan untuk masa depan. Saya tidak ingin terhanyut dalam kejayaan masa lalu dan saya selalu berupaya agar terus berkembang dan maju.

Apa ciri khas atau karakter desain Farah Angsana saat ini?

Feminin, elegan, glamor, dan seduktif. Saya ingin membuat setiap wanita yang mengenakan koleksi saya merasa anggun.

Bukankah awalnya Anda merancang busana pria?

Ya, saat di Paris. Namun, saya meluncurkan koleksi busana pria di waktu yang kurang tepat. Dulu belum tren pria metroseksual. Saat ini pria lebih flamboyan dan sangat suka berbusana. Para perempuan masa kini juga suka mengenakan jas pria karena konstruksi jas bisa membentuk bahu perempuan lebih elegan. Untuk sekarang, saya fokus pada busana perempuan.

Apakah Anda berkeinginan untuk kembali mendesain busana pria?

Mungkin saja. Sebagai desainer saya tidak ingin mengotak-kotakkan diri. Saya tidak ingin membagi segmentasi tertentu.

Apakah Anda pernah membawa nuansa tradisional Indonesia atau konsep Indonesia dalam koleksi rancangan Anda?

Ya, beberapa kali saya menampilkan unsur Indonesia dalam koleksi. Seperti elemen budaya Bali, batik krancang Yogyakarta, eksplorasi bermacam suku, dan inspirasi story Indonesia Nyi Roro Kidul pada 2001 di Haute Couture Week di Paris. Saya juga pernah mendesain dress berbentuk kebaya. Saya sangat mengagumi kebaya Indonesia. Namun, karena kebaya sangat kental unsur tradisi dan market saya adalah luar negeri, maka saya menciptakan kebaya cocktail dress.

Bagaimana respons terhadap desain dress kebaya ini?

Sambutan dari pers dan ritel sangat baik karena desain seperti ini dinilai sebagai sesuatu yang berbeda. Bentuk dress seperti ini menjadikan perempuan tampak lebih muda.

Dari mana saja Anda mendapatkan inspirasi dalam mendesain?

Inspirasi datang dari mana saja. Bisa dari kegiatan travelling, budaya, bahkan ikon pameran di museum. Untuk menjadi artis yang hebat, Anda harus peka terhadap keadaan sekitar dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi.

Anda sukses membangun bisnis fashion di banyak kota di dunia. Bagaimana menjaganya agar terus eksis?

Sebelum berekspansi, saya melakukan riset sebab selera fashion konsumen di setiap negara berbedabeda. Dalam bisnis ini seorang desainer tidak bisa mengabaikan keinginan pasar. Setelah mengamati selera pasar, kemudian dikombinasikan dengan kreativitas yang saya punya.

Menurut saya, seorang desainer harus bisa menyeimbangkan antara kreativitas dan selera pasar. Dengan begitu, hasil yang didapat pun lebih optimal. Negara Middle East, misalnya, kebanyakan para perempuan di negara tersebut menggunakan jilbab ketika ke luar rumah, jadi semua tertutup. Namun, ketika di dalam rumah mereka ingin tampil cantik di depan suami, jadi mereka minta dibuatkan busana muslim dengan sentuhan glamor. Untuk ini saya masih terus belajar, karena busana muslim yang biasa saja saya belum benar-benar punya ilmunya.

Saya tidak ingin melakukan sesuatu yang belum saya kuasai. Ke depannya, saya berniat membuat koleksi busana muslim yang glamor. Selain itu, sumber keuangan yang mencukupi, strategi pemasaran yang baik, dan bakat merupakan cakupan yang harus dimiliki oleh seorang desainer agar bisa bertahan di industri ini.

Sebagai desainer fashion, apa target tertinggi Anda?

Target saya ingin memperluas bisnis di luar produk busana dan pensiun di puncak kesuksesan karier.

Tips Anda agar desainer Indonesia bisa unjuk gigi dalam industri fashion internasional?

Kuncinya, kerja keras dan berpikiran jernih. Untuk mencapai pasar Amerika, misalnya, itu sangat sulit. Ada banyak sekali standardisasi yang harus dipenuhi dan itu sangat detail. Ukuran kancing baju pun ada standarnya. Tips lain, jangan terpengaruh atau terlena dengan keglamoran dunia fashion. Saya lihat banyak yang terjebak. Padahal, sebenarnya fashion itu tidak glamor. S

atu hal yang penting adalah dalam pekerjaan apa pun, kita harus benarbenar menjadikan pekerjaan tersebut sebagai sesuatu yang sangat kita cintai.

Dyah ayu pamela
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9565 seconds (0.1#10.140)