Harga BBM Naik, Rakyat Kian Terbebani

Minggu, 29 Maret 2015 - 09:52 WIB
Harga BBM Naik, Rakyat Kian Terbebani
Harga BBM Naik, Rakyat Kian Terbebani
A A A
JAKARTA - Per 28 Maret 2015 pukul 00.00 WIB, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar naik masing-masing Rp500/liter.

Kenaikan tersebut dipastikan menambah beban masyarakat karena saat ini hampir semua harga komoditas tidak terkendali. Daya beli masyarakat pun menurun.

Pandangan demikian disampaikan Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani, dan pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio.

”Jika sekarang dihantam dengan kenaikan harga BBM, daya beli masyarakat akan lebih parah lagi. Artinya inflasinya bisa lebih tinggi dan membuat masyarakat yang menengah yang tidak miskin bisa menjadi jatuh miskin,” ujar Tulus kepada KORAN SINDO kemarin. Menurut Tulus, seharusnya pemerintah mempunyai hitung-hitungan agar tidak hanya merujuk pada kenaikan harga minyak mentah dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah dalam satu bulan terakhir.

Dalam pandangannya, saat ini kebijakan pemerintah seperti dalam menaikkan harga elpiji dan tarif dasar listrik hanya merujuk pada harga pasar tanpa mempertimbangkan faktor lain. ”Di mana fungsi negara jika hanya bisa menaikkan harga, tetapi tidak bisa mencari jalan keluar? Presiden harus mencari solusi yang lebih cerdas. Bukan cuma soal menaikkan saja. Kalau cuma menaikkan saja, itu tidak perlu seorang presiden, tidak perlu kabinet yang kuat,” tegasnya.

Aviliani mengingatkan pemerintah agar memperhatikan harga pangan yang sangat rentan terpengaruh kenaikan harga BBM. Menurut dia, ada 150 juta orang yang sangat terpengaruh atas naik-turunnya harga pangan. Jika harga barang terus naik dan inflasi buruk, hal itu akan memengaruhi daya beli masyarakat dan bisa menciptakan angka kemiskinan baru.

”Saat ini mereka belum merasakan, daya beli masyarakat masih mampu. Tapi kalau harga BBM naik dan rupiah terus melemah, bisa berbahaya,” ucapnya. Menurut Aviliani, pemerintah pusat sebaiknya memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah atau provinsi untuk mengevaluasi dan menjaga harga-harga. Alasannya, pemerintah daerah sudah memiliki instrumen yang disebut Tim Pengendali Harga.

Sayangnya, pemerintah belum mau memberikan anggaran kepada tim tersebut. Padahal, daerah sudah mengusulkan anggarannya sebesar Rp1 triliun/ tahun. ”Daripada subsidi BBM yang mencapai Rp290 triliun/ tahunlebihbaikdiberikankepada 36 provinsi jadi Rp36 triliun untuk menjaga stok, produksi, dan menentukan impor-tidak impor supaya tidak over-supply. Kalau ada apa-apa tinggal diminta tanggung jawabnya,” ucap dia.

Adapun Hendri Satrio mengaku percaya dengan niat baik pemerintah yang ingin menghilangkan subsidi BBM dan menyerahkannya pada mekanisme pasar sehingga anggaran subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun pemerintah juga harus memiliki fundamental ekonomi yang kuat sehingga arah pembangunan ekonomi jelas.

”Sebab naiknya harga BBM akan diikuti dengan kenaikan harga-harga yang lain. Pemerintah harus melakukan sesuatu agar harga tidak melonjak naik, apakah melalui operasi pasar atau yang lainnya. Jangan niat baik untuk meniadakan subsidi jadi salah,” ujarnya. Hendri menilai komunikasi politik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) memang berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada era kepemimpinan SBY, ketika terjadi kenaikan harga, pemerintah dengan cepat melakukan operasi pasar, memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk menjaga stabilitas harga. ”Kalau sekarang begitu ada kenaikan nggak wajar, menterinya bingung dan Presiden Jokowi teriak mafia. Pemerintah sepertinya belum siap,” katanya. Menurut Hendri, pemerintah harus tegas dalam menyikapi persoalan ini.

Salah satunya dengan menyelesaikan kegaduhan politik sehingga pemerintah bisa konsentrasi pada pembangunan ekonomi. Berikutnya memperbaiki kinerja para pembantunya di kabinet. Menterimenteri yang tidak mengerti keinginan Presiden sebaiknya diganti. ”Bila mau me-reshuffle belum terlambat. Jangan serahkan perut rakyat ke mekanisme pasar juga seperti BBM. Harus ada program ekonomi sehingga harga terjangkau, sebab rakyat tidak mengerti ekonomi makro dan hanya melihatnya dari harga-harga kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Pemerintah Jokowi, lanjut Hendri, harus responsif terhadap persoalan ini. Kalau tidak, hal yang tidak diinginkan bisa terjadi, yaitu akan menempatkan posisi Jokowi jatuh dari tampuk kekuasaannya. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Yudha meminta pemerintah memperhatikan dampak kenaikan harga BBM dan fluktuasi harga yang terjadi.

Menurut dia, sejumlah kementerian terkait pada sektor perindustrian, keuangan, dan perdagangan harus melakukan operasi pasar untuk menahan pelonjakan harga, khususnya pada barang pokok. ”Selain itu tentunya pemerintah juga tidak lupa untuk melancarkan skema jaminan sosial yang telah dijanjikan sebelumnya,” katanya.

Seperti diketahui pemerintah Jokowi-JK kembali menaikkan harga BBM. Kenaikan harga yang rencananya diberlakukanmulai1 April mendatang itu ternyata dimajukan dan mulai efektif naik pada 28 Maret kemarin. Dalam situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmaja mengatakan, keputusan naiknya harga BBM itu didasarkan pada Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM yang telah diubah dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015.

”Pemerintah terus mengikuti secara saksama dinamika mutakhir harga minyak dunia dan perekonomian nasional. Pemerintah telah menetapkan perubahan harga BBM terhitung mulai 28 Maret 2015,” ujarnya. Menurutnya, jika dilihat dari meningkatnya rata-rata harga minyak dunia dan masih berfluktuasi serta melemahnya nilai tukar rupiah dalam sebulan terakhir, harga jual eceran BBM secara umum perlu dinaikkan.

Rabia edra/ sucipto/ oktiani endarwati/ dian ramdhani
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5027 seconds (0.1#10.140)