Lifestyling ala Indonesia

Jum'at, 27 Maret 2015 - 08:47 WIB
Lifestyling ala Indonesia
Lifestyling ala Indonesia
A A A
Beberapa hari lalu saya menonton acara TV yang membahas perilaku konsumen berdasarkan angka statistik. Acara ini sungguh menarik perhatian saya.

Di acara itu dibahas tentang perilaku konsumen Indonesia dalam berkonsumsi dan tujuan berkonsumsi barang itu sendiri. Menarik banget, di acara itu dibahas kalau 59% responden percaya bahwa Indonesia sedang dalam masa krisis moneter. Karena itu sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada akhir tahun, mereka mulai mengendalikan konsumsi, terutama untuk pembelian barang mewah.

Nah yang paling menarik perhatian saya, sebagian besar alasan responden Indonesia adalah untuk pembentukan status sosial. Di acara itu disebutkan untuk pembentukan status sosial tertentu dengan melakukan lifestyling, pembentukan gaya hidup tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu.

Misalnya dengan membeli barang KW, sewa barang branded, beli barang bekas sampai cicilan tanpa bunga. Intinya sih semua yang sifatnya “maksa” untuk membentuk status sosial tertentu dengan memperlihatkan dirinya memiliki, menggunakan, atau memakai simbolsimbolnya.

Di acara itu disebutkan beberapa contoh simbolnya, gadgettercanggih, barangbarang fashionbermerek, mobil, dan lain-lainnya. Setelah menonton acara ini, saya jadi kepikiran terus, termasuk introspeksi diri, apakah saya selama ini melakukan lifestyling seperti versi yang diliput TV tersebut.

Saya percaya, tidak semua orang secara sadar melakukan lifestylingseperti yang digambarkan TV tersebut. Namun, saya juga yakin pasti banyak banget yang secara sadar melakukannya dengan maksud dan tujuan tertentu. Walaupun sekilas agak mirip dengan pencitraan, jelas perbedaannya antara lifestylingdan pencitraan.

Pencitraan dilakukan untuk membentuk citra seseorang dengan tujuan tertentu. Misalnya dia ingin dikenal sebagai politisi yang merakyat atau artis yang high class. Nah yang menarik, lifestylingini ternyata tidak hanya dilakukan high societyatau selebriti, juga orang biasa, malah sering terlihat orang biasa yang maksabanget, perjuangan banget dalam urusan lifestyling.

Beberapa minggu lalu, saya sempat tertawa-tawa bercanda sama teman saya, seorang bankir yang foto profil WhatsApp-nya lagi duduk cantik di dalam private jet. “Cie, cie,keren banget nih, fotonya,” saya memuji dia lewat WhatsApp juga. Lalu pas sempat bertemu dengannya, sekali lagi deh saya godain dia, keren banget naik Pije (private jet).

Kemudian dia cerita sama saya, kalau dia ikut bosnya menemui seorang pengusaha besar di Kalimantan dan dia juga bilang kalau setelah terlihat naik Pije walau hanya sesaat, sikap orang-orang, baik rekanan maupun teman terhadap dia, langsung beda banget, langsung banyak banget yang mendadak menegur dan ngajakin ketemuan.

Wah dahsyat banget ya ternyata efek foto di Pije. Sekarang saya mengerti kenapa artis-artis Indonesia banyak banget yang obsesi majangfoto di Pije. Belum lama ini saya ngobrolsama teman-teman yang kebetulan semuanya saat itu boys toys-nya, sports cars. Boys will be boys forever!

Makin bikin mulas harganya, makin mereka terobsesi dan berusaha all outbagaimana caranya bisa memiliki boys toyster-hitstersebut, at all cost - at all effort. Ada satu dari mereka membahas baru saja selesai meetingnaik mobil Lamborghini yang terbaru dengan seorang petinggi bank. Niatnya sih minta tambah pinjaman, menurut mereka, level confidence langsung berbeda banget, saat pergi meeting naik Lamborghini dengan meeting naik mobil Jepang satu hari sebelumnya.

Bukan hanya levelconfidence yang berbeda, penyambutan orang pun di tempat meetinglangsung berbeda. Beberapa bulan lalu saya pergi membawa beberapa staf saya, yang kebetulan semuanya cowok-cowok ganteng yang masih muda-muda banget. Dasar nasib lagi baik banget hari itu, saya bertemu manager on dutynya Garuda Indonesia dan berbaik hati.

Kami berlima semua di-upgrade ke business class. Bukan saja saya yang senang, juga ma boys! Buat mereka ini pengalaman pertama naik business class Garuda Indonesia, jelas sesuatu banget dong buat mereka, bahkan buat saya. Jelas mereka senang sekali dengan surprise hari itu. Setelah balik dari Padang, sambil bercanda, mereka semua berkomentar, duh setelah naik business classsama ibu, naik pesawat lain langsung, “gimana gitu‘’.

Saya langsung dong menyemangati mereka, kalau mereka tekun dan fokus dalam bekerja dan berkarier, rewards model beginian akan jadi hal yang biasa terjadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sekarang, setiap saya terdengar mau ikut, langsung deh mereka ramai-ramai minta ikut.

Wah gawat kan! Seorang sahabat saya yang begitu tergila-gila barang bermerek dari ujung rambut sampai ujung kaki, juga pernah berkomentar kalau level confidence dia langsung “drop banget” kalau keluar rumah tanpa barang-barang bermerek. Lupa atau tidak sempat berdandan di salon adalah dosa yang masih bisa terampuni.

Namun, tanpa barang-barang bermerek, dia lebih merasa seperti ditelanjangi pandangan sinis dan mulut sadis setajam silet teman-temannya dengan gaya hidup yang sama. Saya merasa beruntung banget jadi orang yang tidak diperbudak lifestylingmodel begini. Capek banget kan hidup model begini, harus “keep fabulous” hanya karena peduli pandangan mata orang lain.

Buat saya, status sosial saya yang satu paket dengan penghargaan dan bonus-bonusnya, adalah hasil dari achievement saya, yang jelas dari mana asalnya, bukan karena saya “attachment”-nya seseorang , lifestyling atau pencitraan. Saya jadi mengerti kenapa orang sering niat banget lifestyling dengan tujuan masing-masing.

Itu karena berada di status sosial tertentu beserta simbol-simbolnya satu paket, mendatangkan prioritas dan priviledge tersendiri yang nilainya priceless! The difference between who you are and who you want to be is what you do.

Miss Jinjing
Konsultan Fashion
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5222 seconds (0.1#10.140)