RI Tolak Barter Tahanan Australia

Jum'at, 06 Maret 2015 - 10:32 WIB
RI Tolak Barter Tahanan Australia
RI Tolak Barter Tahanan Australia
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia menolak penukaran dua tahanan narkoba Australia yang akan dieksekusi mati dengan tiga tahanan narkoba asal Indonesia di Negeri Kanguru tersebut.

Pasalnya, pertukaran tahanan yang telah divonis mati tidak ada di dalam aturan hukum Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan hukuman mati kepada Andrew Chan dan Myuran Sukumaran akan tetap dilakukan dalam waktu dekat. ”Tidak ada (barter). Tidak ada, tidak ada (barter dengan Australia),” ujar Presiden saat ditanya apakah pemerintah akan melakukan barter tahanan.

Menurut Kepala Negara, meski pemerintah akan melakukan eksekusi mati terhadap dua terpidana asal Australia, pemerintah tetap akan menjaga hubungan baik dengan mereka. ”Tetapi sekali lagi, kedaulatan hukum tetap kedaulatan hukum, kedaulatan politik kita tetap kedaulatan politik kita,” tegasnya.

Presiden meminta kepada seluruh negara sahabat untuk tidak melihat kepada terpidana yang akan dihukum mati saja, tetapi melihat akibat dari bahaya narkoba. Menurut dia, jutaan jiwa melayang akibat narkoba. ”Kita melihat masa depan, 4,5 juta orang yang harus direhabilitasi karena narkoba. Lihatlah itu, jangan selalu dilihat yang dieksekusi, lihatlah korban-korbannya,” tegasnya.

Terkait waktu pelaksanaan eksekusi, Presiden menyerahkan sepenuhnya kepada Jaksa Agung HM Prasetyo. Presiden juga mengaku sudah melakukan komunikasi dengan PM Australia Tony Abbott . Wapres Jusuf Kalla (JK) mengatakan, Indonesia tidak mempunyai sistem hukum menukar tahanan yang telah divonis hukuman mati. ”Tidak punya sistem hukum tukar-menukar tahanan,” kata JK.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop pada Selasa (3/3) telah menghubungi Menlu Indonesia Retno LP Marsudi dan dikabarkan Julie menawarkan pertukaran tahanan terhadap dua terpidana mati ”Bali Nine”; Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Namun, Retno menyampaikan bahwa pertukaran tahanan tidak dikenal dalam aturan hukum dan undang-undang di Indonesia, sehingga tawaran tersebut tidak dapat diwujudkan.

”Bukan soal tolak. Indonesia tidak punya sistem hukum tukarmenukar tahanan,” kata JK. TigaterdakwanarkobaasalIndonesia yang ditahan di Australia ialah Kristito Mandagi, Saud Siregar, danIsmunandar. Mereka tertangkap dekat Pelabuhan Macquarie pada 1998 saat membawa 390 kilogram heroin. Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin menegaskan, Indonesia mempunyai hukum yang harus dijalankan.

Masing-masing pihak harus menghormati. ”Hukum nasional kita tidak mungkin kita bargain dengan apa pun. Apa pun tawarannya harus dipertimbangkan dengan baik,” ucapnya singkat. Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai, tawaran pemerintah Australia ini sangat janggal dalam hukum internasional dan cenderung membodohi pemerintah Indonesia bila menerima tawaran tersebut.

Menurut dia, kalaupun ada perjanjian pemindahan terpidana antarkedua negara maka ini tidak berlaku bagi terpidana mati. ”Oleh karena itu, tawaran yang disampaikan oleh Menlu Bishop harus ditolak oleh pemerintah Indonesia,” katanya. Pemerintah Indonesia menghormati kedaulatan Australia yang menghukum WNI karena melakukan kejahatan di sana.

Harapan Indonesia, tentunya pemerintah Australia menghormati kedaulatan Indonesia yang menghukum WN Australia karena melakukan kejahatan di Indonesia. ”Pemerintah Australia tidak seharusnya merendahkan kemampuan dan nalar hukum bangsa Indonesia,” ucapnya.

Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina Dinna Wisnu mengharapkan Presiden Jokowi perlu meyakinkan masyarakat Indonesia, khususnya para pekerja dan pelaku bisnis, bahwa ketegangan diplomatik terkait hukuman mati dengan negara-negara tetangga tidak akan merugikan pembangunan ekonomi.

Menurut dia, serangkaian langkah strategi diplomatik Australia mulai pemanggilan duta besar, unjuk rasa Menlu Bishop hingga tawaran swap prisoner, adalah langkah diplomatik taktis yang dapat menjebak Indonesia dalam citra negatif di dunia internasional, khususnya dalam hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Dalam sejarah hubungan Indonesia- Australia, ketegangan biasanya hanya diikuti dengan pemanggilan duta besar masing-masing untuk waktu yang tidak ditentukan. Namun, jika situasi makin memburuk, tekanan yang mungkin dihadapi Indonesia adalah penghentian bantuan kemanusiaan yang saat ini digulirkan.

Misalnya untuk program-program antikorupsi, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, demokrasi, dan proyek lainnya. ”Australia juga mungkin akan dirugikan dengan ketegangan ini terkait dengan kerja sama antiterorisme dan pemulangan pencari suaka yang menjadi prioritas utama kampanye PM Abbott,” jelas Dinna.

Langkah diplomatik itu akan sesuai dengan kebijakan ekonomi pemerintah liberal Australia yang mengurangi pengeluaran untuk pelayanan publik dan bantuan sosial sehingga patut diantisipasi. Dinna mengusulkan agar Australia dan Indonesia meminta mediasi dengan negara ketiga yang memiliki hubungan baik dengan Australia dan Indonesia, misalnya Amerika Serikat.

”Negara-negara ini dapat menjembatani komunikasi diplomatik yang tampaknya belum lancar di bawah pemerintahan Jokowi,” ujarnya. Sebagai solusi jangka pendek, para pejabat dan politisi kedua negara perlu menahan diri untuk tidak membuat pernyataan provokatif yang dapat menyebabkan ketegangan hingga sampai di level masyarakat bawah.

Gunakan Senjata SS-1

Sementara itu, tim regu tembak dari Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda Jawa Tengah siap melaksanakan eksekusi terhadap 10 terpidana mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sumber KORAN SINDO, senjata untuk mengeksekusi nantinya berjenis SS1 (senapan serbu).

Ini merupakan senjata api laras panjang buatan PT Pindad. ”Itu senjata kaliber 5,56 mm. Kaliber seperti itu seperti TNI juga, dulu ada yang jenis itu, namanya FNC (Fabrique Nationale Carabine ) buatan luar negeri. Tapi sekarang yang dipakai SS1,” ungkap sumber KORAN SINDO yang enggan disebut identitasnya, kemarin.

Sumber itu menyebut, SS1 dipakai oleh 12 penembak brigadir eksekutor. Sementara 1 komandan regu penembak, menggunakan senjata api genggam laras pendek. ”Komandannya itu memakai Glock,” lanjut dia. Untuk penembakan, dari 12 SS1 itu hanya ada tiga yang berpeluru tajam.

Sisanya, yakni sembilan, merupakan peluru hampa. Itu akan ditembakkan dengan aba-aba dari komandan pelaksana dan jaksa eksekutor. Sasarannya adalah jantung. Tanda di jantung itu ditandai oleh dokter, diberikan pada para terpidana mati yang semuanya memakai baju putih. Dokter yang mengawal itu dari kepolisian, Bidang Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Polda Jawa Tengah.

Jika setelah dilakukan penembakan, ternyata terpidana masih hidup, dan dikuatkan keterangan dokter yang ikut, maka komandan regu tembak melakukan penembakan terakhir dengan senjata genggamnya. Hal ini juga sesuai dengan UU 2/PNPS/1964 dan Peraturan Kapolri No 12/2010.

Penembakan pengakhir dilakukan dengan menembak terpidana di atas telinga alias tembak di kepala. Proses eksekusi memang dilakukan dengan cara ditembak sampai mati, sesuai dengan aturan yang berlaku. Informasi yang dihimpun tentang tiga peluru tajam itu, KORAN SINDO sempat melihat foto jenazah Tran Thi Bich Hanh,terpidana mati asal Vietnam yang dieksekusi Januari lalu.

Di dada kiri Bich Hanh, ada tiga lubang bekas peluru. Sementara untuk jaraknya, antara regu tembak dan terpidana antara 5-10 meter. Rata-rata para terpidana mati posisinya menyandar pada tiang penyangga, kondisi mata tertutup kain hitam, dan diborgol. Sementara itu, keluarga sejumlah terpidana mati mendatangi LP Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah menjelang pelaksanaan eksekusi.

Rarasati syarief/Sucipto/Muh shamil/Eka setiawan/Ant
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5080 seconds (0.1#10.140)