Dosen Dituntut Tingkatkan Kualitas

Senin, 02 Maret 2015 - 10:41 WIB
Dosen Dituntut Tingkatkan Kualitas
Dosen Dituntut Tingkatkan Kualitas
A A A
Persiapan yang matang menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) harus dilakukan perguruan tinggi (PT). Sebab, PT bertanggung jawab untuk menghasilkan sarjana yang berkompeten serta dapat bersaing secara global. Karena itu, perlu perhatian khusus dari setiap dosen sebagai tenaga pendidik agar melahirkan calon sarjana berkualitas.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Edy Suandi Hamid, dosen merupakan unsur terpenting bagi PT dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. “Pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga values sehingga dosen dituntut pula berperilaku baik,” ujarnya.

Dengan begitu, ketika memberikan kompetensi keilmuan dan keahlian, dosen harus memiliki kemampuan baik serta ilmu yang selalu berkembang. “Selain itu, dosen dituntut untuk terus belajar, meneliti, ikut pelatihan agar selalu updateilmu pengetahuan dan teknologinya. Kalau dosen statis, maka dapat dipastikan ia mengajar sesuatu yang basi,” tutur guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia itu.

Tidak jauh berbeda dengan Edy, menurut Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Syahril Pasaribu, dosen harus memiliki standar pendidikan yang baik, yaitu S-2 atau S-3. Selain itu, dosen wajib memiliki kreativitas dan inovatif. “Itu dilakukan agar dosen mampu membangkitkan minat dan bakat mahasiswa. Dosen juga dituntut untuk berpengalaman dalam riset atau penelitian terapan maupun ilmu dasar,” katanya.

Demi mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, para dosen perlu didorong untuk mengikuti pelatihan dan diberi dana riset. Edy mengatakan, hal yang terpenting, yaitu dosen tidak boleh merasa paling pintar. “Dosen harus bisa open minded. Ia juga mengikuti perkembangan ilmu dan memublikasikan karyanya di level global,” ujar akademisi yang aktif dalam menulis buku dan riset di bidang ekonomi itu.

Menurut Syahril, teknik pembelajaran juga memberikan dampak terhadap mahasiswa. Metode belajar interaktif, tempat belajar yang nyaman, dan lengkapnya fasilitas di laboratorium akan mendukung terciptanya sarjana yang berkompetensi. “Jadi, dosen juga harus bisa mempersiapkan modul-modul yang mudah dicerna dan memberikan materi yang menarik,” sebut Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

Edy mengatakan, selama ini kendala yang dihadapi para dosen untuk menghasilkan SDM berkualitas, di antaranya sarana dan prasarana yang terbatas. Misalnya, kurangnya fasilitas buku di perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Namun, faktor lain juga berasal dari dosen itu sendiri. “Semua terkait keterbatasan ilmu dan waktu. Dosen banyak nyambi atau bahkan menjabat sehingga kurang baik dan kurang disiplin dalam mengajar,” ujarnya.

Selain membutuhkan peran dosen, mahasiswa juga harus memiliki kompetensi yang baik, soft skills, kedisiplinan, dan bisa menguasai bahasa asing. Dengan begitu, perlu kesadaran mahasiswa agar dapat menjadi calon sarjana berkualitas. Menurut Syahril, masih banyak mahasiswa yang belum terlibat sepenuhnya dalam melakukan riset atau penelitian. “Mahasiswa juga harus kreatif mencari inovasi baru, perlu dibangun jiwa kewirausahaannya,” ujarnya.

Perlu proses, tahapan, dan waktu untuk menyelesaikan permasalahan perguruan tinggi dalam menghasilkan generasi bangsa yang berkompeten. Menurut Edy, tidak ada obat generik untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Misalnya untuk meningkatkan kualitas mahasiswa dan dosen, Edy memberi contoh dulu pernah dibuat edaran yang mewajibkan lulusan PTS membuat karya ilmiah di jurnal.

“Bagus itu, tapi jadinya ngawur karena tidak melihat realitas. Jurnalnya saja tidak ada,” katanya. Edy menyebutkan, seharusnya setiap kebijakan bisa dibuat bersama antara PT dan Dikti. Tidak hanya terbatas pada perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta melalui APTISI, misalnya, perlu dilibatkan juga.

Terutama tidak membedakan SDM dari perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta, semua harus diberikan hak yang sama. “Sebab, banyak juga SDM dari swasta yang berkualitas,” katanya.

Syahril mengatakan, penyebab masalah perguruan tinggi belum dapat terselesaikan karena tidak adanya sinergi antara universitas, pemerintah, dan pihak industri dalam rangka menghasilkan sarjana yang berkualitas. “Memang belum jelas adanya sinergitas di antara tiga pihak itu. Namun, sekarang sudah ada nota kesepahaman antara universitas, bisnis, dan pemerintah sehingga ke depan diharapkan kita bakal menghasilkan sarjana yang lebih baik dan siap kerja,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Jakarta, Mohammad Abduhzen, mengatakan bahwa kemajuan bangsa ditentukan oleh kemajuan pendidikan, terutama dari perguruan tinggi. Oleh sebab itu, pendirian perguruan tinggi harus memenuhi kriteria, di antaranya ketersediaan dosen berkualitas.

Setelah itu perlu ada mekanisme kontrol kualitas yang efektif. “Selama ini, sistem akreditasi PT sudah mengarah pada yang baik, namun masih terlalu menekankan pada aspek administratif,” ujarnya.

Permasalahan yang dialami sejauh ini adalah jumlah dosen yang masih kurang di sebagian besar perguruan tinggi. Kemudian, tidak semua dosen memiliki kriteria yang standar seperti mencapai pendidikan S-2 dan S-3. Belum lagi, masih sedikit perguruan tinggi yang melakukan upaya peningkatan mutu. Tentu saja menyiapkan tenaga dosen yang baik menjadi sangat krusial untuk menghasilkan sarjana yang berkualitas juga.

Sebab, sekitar 30% kualitas perguruan tinggi akan dipengaruhi dari kualitas dosen tersebut. “Kekurangan dosen di kebanyakan perguruan tinggi karena ketiadaan dana perguruan tinggi. Begitu juga upaya peningkatan mutu dosen,” katanya.

Selain itu, kendala lain adalah masih seputar keterbatasan fasilitas serta peluang untuk mendapatkan pelatihan bermutu dan pendidikan lanjutan. Kemudian, motivasi yang rendah untuk melakukan self continuous improvement. “Faktor pendukung lain yaitu budaya akademik, visi, dan manajemen kampus,” sebutnya.

Menurut Abduhzen, secara umum, dosen harus dapat memfasilitasi mahasiswa agar mampu bersikap kritis. Ia berharap, pemerintah membuat rancangan yang efektif, praktis, dan bersifat crash programmeuntuk peningkatan mutu. Pendapat yang berbeda diungkapkan Daniel Rosyied dari anggota Koalisi Reformasi Pendidikan.

Guru besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) itu mengatakan, dosen tidak terlalu memiliki peran yang besar. Justru, menurut dia, hal yang paling utama adalah attitude para calon sarjana. Pembentukan attitude yang baik itu juga ditentukan ketika mahasiswa sedang menjalani pendidikan dasar dan menengah. “Peranan pendidikan dasar dan keluarga juga menjadi hal utama untuk membentuk sikap mahasiswa yang baik,” ujarnya.

Menurut Daniel, mahasiswa zaman sekarang kurang memiliki budaya membaca. Rasa ingin tahu dan kritis juga belum terbentuk. “Mahasiswa harus memiliki sikap sportif, mengasah kepekaan sosial. Semua itu tidak bisa tiba-tiba dibentuk oleh dosen, melainkan semenjak masih di pendidikan dasar,” katanya.

Daniel menambahkan, perguruan tinggi di Indonesia juga terlalu akademis dan kurang praktis. Masih banyak perguruan tinggi yang menjaga jarak dengan masyarakat dan industri. Harusnya ada sinergitas di antara pihak-pihak tersebut. Namun, Daniel mengatakan, untuk menciptakan sarjana yang berkualitas, semua tergantung dari mahasiswa itu sendiri.

“Sebab dalam penelitian, peran dosen sendiri tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap mahasiswa sehingga mahasiswa harus sadar dan paham untuk mempersiapkan kualitas diri yang siap bersaing,” tuturnya.

Dina angelina
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5472 seconds (0.1#10.140)