Ibadah-ibadah Sunnah bagi Muslimah yang Bisa Jadi Haram

Kamis, 15 Desember 2022 - 10:04 WIB
loading...
Ibadah-ibadah Sunnah bagi Muslimah yang Bisa Jadi Haram
Banyak ibadah sunnah yang bisa diamalkan kaum muslimah yang ganjarannya mendapat pahala. Namun, ada beberapa ibadah sunnah yang justru bisa menjadi haram bila dilakukan. Foto ilustrasi/ist
A A A
Banyak ibadah sunnah yang bisa diamalkan kaum muslimah yang ganjarannya mendapat pahala. Namun, ada beberapa ibadah sunnah yang justru bisa menjadi haram bila dilakukan, terutama oleh kaum muslimah yang telah berstatus sebagai seorang istri. Ibadah sunnah apakah itu? Kenapa demikian?

Dalam Islam, seorang istri yang hendak menjalankan ibadah sunnah harus mendapatkan izin dari suaminya. Artinya, ia tidak boleh mengerjakan puasa sunnah seperti puasa senin-kamis, puasa daud, dan puasa sunnah lainnya, kemudian pergi haji, ataupun iktikaf tanpa izin suaminya atau jika itu bisa menghalangi hak suaminya.



Dr Abd al-Qadir Manshur dalam bukunya 'Buku Pintar Fikih Wanita' menjelaskan, hak suami itu wajib dipenuhi dan tidak boleh digugurkan dengan ibadah yang hukumnya sunah. Selain itu, menurut Abd al-Qadir, suami juga berhak bersenang-senang dengan tubuh istri, dan itu tidak bisa terpenuhi jika sang istri sedang mengerjakan puasa, haji, dan iktikaf.

Dalam hadis yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”(Muttafaq Alaih)

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud, An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)

Sementara ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, larangan pada hadis di atas dimaksudkan untuk puasa tathawwu’(sunnah yang dianjurkan) dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. Hadis ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani)

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqaha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam:
1. Puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis)
2. Puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.

Mengapa harus seizin suami? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadis yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.”[Fathul Bari, 9/296).

Kemudian Imam An Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.

Jika tidak ada alasan, maka sang istri wajib untuk melayani ajakan suaminya. Inilah hak suami atas istrinya dan demikian pula seharusnya seorang suami jika melihat istrinya ingin berhubungan badan, maka ia pun harus melayani.

Firman Allah Ta'ala :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ......


".....Dan bergaullah dengan mereka secara patut...."(QS An-Nisa : 19)

Namun, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar , sedang sakit, sedang berihram atau suami sendiri sedang puasa. Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihram terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.

Lantas bagaimana jika istri tetap saja berpuasa tanpa sepengetahuan suami? Jika terjadi seperti ini, suami boleh menyuruhnya untuk membatalkan puasa. Begitu juga ketika istri mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Bila suami telanjur memberi istrinya izin untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, suami boleh saja menyuruh istri membatalkannya. Hal ini ditegaskan oleh mazhab Syafi'i dan Hambali. Dalam salah satu riwayat disebutkan, Rasulullah SAW pernah memberi izin kepada Aisyah, Hafshah, dan Zainab untuk beriktikaf, tapi kemudian melarang mereka saat sedang mengerjakannya.



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1560 seconds (0.1#10.140)