BG Tolak Panggilan KPK

Sabtu, 31 Januari 2015 - 11:33 WIB
BG Tolak Panggilan KPK
BG Tolak Panggilan KPK
A A A
JAKARTA - Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) menolak panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa atas dugaan rekening tidak wajar. Sebaliknya, Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) itu mempertanyakan pemanggilan tersebut.

Sikap Budi Gunawan itu disampaikan kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution. Ketidakhadiran tersebut juga disampaikan Budi Gunawan kepada KPK melalui surat yang disampaikan seorang anggota Divisi Hukum Mabes Polri.

”Surat yang diantarkan itu juga menerangkan dan memberitahukan bahwa (Budi Gunawan) kini masih dalam proses praperadilan. Kan masih dalam proses ya ditunggu,” ujar Razman kepada KORAN SINDO kemarin. Dia menegaskan, selama masih ada praperadilan, proses hukum jangan dilanjutkan dulu. Dia pun berharap masing-masing pihak menahan diri. Jangan dipaksakan keinginan masing-masing.

”Jadi fakta ini yang repot. Argumen hukum yang mereka (KPK) bikin analisis kan silakan saja. Nanti kita lihat di praperadilan,” imbuhnya. Razman juga mempersoalkan surat panggilan yang tidak jelas siapa pengirimnya dan siapa penerimanya. Menurut dia, dalam satu lembaran kertas atau tanda terima itu harusnya ada yang dibawa pulang oleh pengantar surat KPK.

Tanda terima itu pun tidak ada sehingga walaupun surat itu ada, surat itu tetap dianggap seperti surat yang tidak ada. ”Jadi kita ini jangan bersengkarut dalam menyelesaikan suatu tindakan hukum,” bebernya. Dia juga menilai pemanggilan KPK tidak prosedural. Razman mengingatkan, sesuai dengan MoU KPK-Mabes Polri, kedua lembaga tersebut perlu menerapkan fungsi koordinasi dan supervisi dengan baik, termasuk dalam penanganan setiap kasus korupsi.

”Maksudnya apa? Tidak ada proses pemanggilan di antara dua instansi itu, (dan harus) ada pemberitahuan resmi formalnya. Nah itu tidak dilakukan. Sampai hari ini Pak BG belum terima pemberitahuan beliau sebagai tersangka tertulis dari KPK. Apa pasal yang dituduhkan ini pun belum jelas gitu loh ,” tandasnya.

Lebih jauh dia menegaskan kliennya juga tidak akan hadir jika KPK memanggil untuk kali kedua, dengan alasan yang sama. Dia bahkan menentang rencana KPK melakukan pemanggilan paksa. ”Ini kan serius persoalan bangsa ini. Jangan kalau nggak datang satu kali, dipanggil dua kali, tiga kali. Aduh, jangan paksa-paksalah. Jangan gitulah. Pendekatan hukum itu tidak boleh begitu. Jangan menimbulkan ketidakpastian.

Penegakan hukum itu kan kepastian dan mendidik orang,” tandasnya. Kemarin Razman menegaskan kembali kliennya bersih dari tuduhan seperti yang disampaikan KPK. Mengenai keyakinan tersebut, kemarin dia menyerahkan dokumen data transaksi keuangan Budi Gunawan ke Komisi III.

Rencananya dia juga akan mendatangi KPK untuk melakukan tujuan yang sama. Razman juga mengimbau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang ikut berperan memajukan pencalonan BG turut bertanggung jawab. Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, surat panggilan pertama dikirim kepada Budi Gunawan ke empat tempat.

Pertama, rumah dinas STIK yang diterima Safriyanto. Kedua, Kantor Lemdikpol yang diterima Suhardianto. Ketiga, rumah pribadi Budi Gunawan di Duren Tiga dan diterima Hariyanto. Keempat, Spripim Mabes Polri dan diterima Dwi Utomo. Menurut Priharsa alasan praperadilan yang digunakan Budi Gunawan tidak dapat dibenarkan.

”Tata cara dianggap tidak patut, yang hadir bawa surat di situ tidak membawa kuasa dari yang bersangkutan, tapi hanya membawa surat perintah tugas dari Kadiv Hukum Mabes Polri. Penyidik akan panggil ulang pekan depan. Hari belum ditentukan. Secepatnya akan dikirim,” kata Priharsa di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.

Dia menuturkan, sekitar pukul 10.30 WIB kemarin ada seorang anggota Divisi Hukum Mabes Polri berpangkat Kombes menyampaikan ketidakhadiran Budi Gunawan dengan alasan seperti disebutkan kuasa hukum. Menurut dia, penyidik menyampaikan, tidak ada dasar hukum bahwa seorang saksi tidak hadir lantaran prosesnya sedang masuk tahap praperadilan.

”Ya sesuai dengan KUHAP-lah. Jemput paksa akan dilakukan jika dua kali panggilan, dan dua-duanya tidak patut, maka ada kemungkinan dijemput paksa. Itu kewenangan penyidik,” tandasnya. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto mengatakan, kehadiranBudiGunawan dalam pemeriksaan menjadi kesempatan emas bagi yang bersangkutan untuk menjelaskan segala alibi yang ada pada dirinya.

Termasuk menunjukan bukti-bukti autentik untuk meng-counter seluruh sangkaan seperti tersebut dalam surat perintah penyidikan (sprindik). ”Bukankah di depan fit and proper di DPR hal itu sudah dilakukannya? Kami percaya, BG adalah penegak hukum sejati yang kelak akan menunjukkan sosok profesionalitasnya karena patuh seutuh dan sepenuhnya pada hukum.

Juga semoga bisa menjadi teladan dan raw model yang baik bagi penegak hukum lainnya. Kehormatan penegak hukum terletak pada kemauan dan kemampuannya untuk menghormati hukum yang ditujukan bagi kemaslahatan publik,” ujar Bambang.

Sebelumnya, KPK resmi mengumumkan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka Selasa (13/1). KPK menduga calon tunggal kapolri yang belum dilantik itu menerima suap dan/atau gratifikasi saat menduduki jabatan sebagai kepala Biro Pembinaan Karier Deputi SDM Mabes Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian RI.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto mengimbau Budi Gunawan mengikuti proses hukum yang berlaku. Namun Andi mengaku ada hak individual untuk melakukan beberapa proses hukum terkait dengan pemanggilan seperti itu.

”Kuasa hukumnya adalah yang kemudian memberikan pertimbangan hukum kepada Pak Budi Gunawan. Dan itu bagian dari proses hukum yang dihormati oleh Istana,” katanya. Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyarankan polemik KPK-Polri sebaiknya tidak diselesaikan dengan semata- mata hukum (yuridis) meski masa kedaluwarsa kasus para komisioner KPK dan kasus korupsi seorang jenderal Polri itu masih memungkinkan.

”Tapi ada penyelesaian demi keutuhan bangsa dan negara. Itu penyelesaian yang lebih baik dan di atas penyelesaian hukum,” katanya, di Surabaya kemarin. Hatta mengaku sulit berpendapat karena KPK dan Polri itu merupakan lembaga penegak hukum yang sama-sama memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menyidik, yakni KPK mempunya kewenangan dalam pidana korupsi, sedangkan Polri berwenang dalam pidana umum dan pidana korupsi.

Namun kedua lembaga penegak hukum itu sama-sama digugat praperadilan oleh pendukung Bambang Gunawan dan Bambang Widjojanto. Menurut alumni FH Unair itu, kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto samasama masih memungkinkan dalam masa kedaluwarsa dari sebuah kasus. Tapi masalahnya bukan soal kedaluwarsa, melainkan keduanya saling memanaskan situasi secara beruntun.

”Saya kira KPK dan Polri itu nggak usah panas-panasan, tapi yang dingin-dingin saja, karena itu sebaiknya jangan sematamata hukum, tapi saya kira terserah kepada Presiden untuk menyelesaikan demi keutuhan bangsa dan negara,” katanya.

DPR Berencana Panggil Presiden

Pimpinan DPR dijadwalkan melakukan rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (2/2) pekan depan. Salah satu yang akan dibahas dalam rapat konsultasi tersebut adalah nasib calon kapolri Budi Gunawan.

”Nanti coba akan ditindaklanjuti,” kata Ketua DPR, Setya Novanto di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Setya mengungkapkan, pada prinsipnya DPR menghormati hak prerogatif Presiden untuk memutuskan bagaimana yang terbaik mengenai calon kapolri. Dia meyakini Presiden belum mengambil putusan definitif karena masih mengumpulkan masukan dari berbagai pihak.

”Kita sabar kita tunggu. Kan itu hak prerogatif Presiden. Kita sabar menunggu apa yang akan dilakukan,” ujarnya. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengungkapkan, dengan telah diputuskannya calon kapolri dalam sidang paripurna DPR, nasib Budi Gunawan memang sepenuhnya berada di tangan Presiden apakah mau dilantik atau tidak. DPR, kata dia, tak punya pilihan lagi selain hanya menyarankan Presiden memutuskan yang terbaik demi kepentingan rakyat.

”Jika Presiden tidak ingin melantik, itu adalah hak Presiden. Namun tetap ada mekanisme yang harus dilalui oleh Presiden,” katanya. Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan keputusan mengenai permasalahan antara KPK dan Polri ada pada nurani Presiden Jokowi sebagai figur yang memiliki otoritas.

”Semua berpulang pada nurani Jokowi, mana yang dipilih dan paling baik, meskipun tim yang dia bentuk sudah memberikan rekomendasi untuk menangani konflik KPK-Polri,” kata Herndardi kemarin.

Rahmat sahid/ M ula Akmal/ Neneng zubaedah
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8392 seconds (0.1#10.140)