Pangsa Pasar Terbaik adalah Anak

Jum'at, 30 Januari 2015 - 13:49 WIB
Pangsa Pasar Terbaik adalah Anak
Pangsa Pasar Terbaik adalah Anak
A A A
Saya selalu bilang, pangsa pasar terbaik selamanya adalah anak-anak. Ini berlaku di semua strata sosial dan ekonomi. Anak-anak adalah prioritas utama dalam pengelolaan rumah tangga.

Kebutuhan anak dalam kondisi yang sesulit apa pun pasti jadi prioritas utama. Istilahnya, buat orang tua, tidaklah masalah makan mi instan setiap hari, asal anak-anak bisa sekolah di sekolah terbaik, walaupun harus bayar dalam dolar AS. Coba deh perhatikan, banyak banget anak-anak sekarang yang handphone -nya lebih keren dan lebih canggih dari handphone ke dua orang tuanya.

Pemandangan ini sepertinya pemandangan biasa. Pengetahuan anak akan spesifikasi dan kualitas suatu barang jauh lebih lengkap daripada pengetahuan bapak dan ibunya.

Anak saya bisa lho menjelaskan spesifikasi dan keunggulan handphone berinisial B yang mahalnya cukup bisa membuat mamanya tarik napas panjang saat dia menjelaskan kenapa dia harus dibeliin merek itu, bukan merek yang biasa dipakai sejuta umat dan seperti biasa, mamanya tidak bisa berkata apa-apa lagi kecuali menyodorkan kartu kredit.

Anak-anak itu juga tidak boleh dipandang sebelah mata karena mereka adalah perayu ulang bermuka malaikat. Matteo, anak saya yang paling kecil, selalu tahu banget cara meluluhlantakkan hati mamanya hingga tak sanggup berkata apa-apa, selain menuruti semua kemauannya.

Hanya bermodal tatapan mata tak berdosa dan kata-kata manis saat lagi jalan bareng di mal, “Mama cantik sekali seperti Rapunzel,” mamanya langsung dan merem saja waktu melek menggesek kartu kredit saat membeli mainan yang dia inginkan. Yang saya juga selalu amaze banget, anak-anak sekarang itu sangat brand minded.

Kalau anak perempuan wajar ya, lha anak laki-laki sekarang juga brand minded banget dan sudah tidak mau lagi dipilihkan dan dibelikan orang tuanya. Mereka lebih memilih dan beli sendiri atau bersama teman-temannya. Namun, yang terakhir ini saya sepertinya belum rela membiarkan anak-anak saya yang masih di SD, SMP, dan SMA pergi membeli segala sesuatunya sendiri atau bersama teman-temannya, karena biar bagaimanapun, mereka tetap perlu pendampingan.

Beberapa waktu yang lalu, sepertinya Aless tertular teman-temannya demam jaket jins. Dia minta dibelikan jaket yang mulanya saya tidak mengerti “penampakannya” seperti apa. Setelah beberapa kali keluar masuk butik, baru saya ngeh . Memang keren banget, brand - nya itu lho, lumayan juga, tapi apa pun selalu demi anak kan?

Melihat Aless beli jaket yang lagi hit, jelas adik-adiknya jadi pengen juga dong. Tanpa dibicarakan pun, pandangan mata mereka berbicara lebih banyak ke jantung dan hati saya. Saya bukan ibu yang tega melihat pandangan mata seperti ini, tanpa diminta pun, saya langsung membelikan lagi dua buat adik-adiknya.

Seperti biasa, tarik napas panjang saat menggesekkan kartu kredit. Matteo sejak umur tiga tahun setiap masuk ke toko baju kesayangannya, label yang ada unsur “kids” nya di belakang brand ngetop , pasti langsung memberi batas jelas dan garis bawah. “Mama, aku pilih sendiri ya” dan dia pun sibuk memilih sendiri yang dia suka. Kalau sudah begini, saya duduk manis saja di kursi sambil memandangi dia sesekali atau sibuk main gadget saja. Soalnya dia suka protes kalau tahu saya pandangin terus-menerus.

Belum lama ini, dia minta jaket seperti yang abangnya punya. Karena saya bersikeras bahwa dia masih terlalu kecil untuk mengenakan jaket itu, karena dia masih SD, sedangkan abangnya sudah SMA, tiba-tiba dia bilang “Mama, I am old inside !”. Anak sekarang memang luar biasa banget.

Komparasi gaya hidup mereka sekarang dengan gaya hidup orang tuanya 20 tahun yang lalu, jelas hal yang sangat mustahil dan kalaupun dipaksakan, pasti ujung-ujungnya orang tua yang di-bully . Meski sering shopping untuk kebutuhan sendiri dan kebutuhan anak-anak, sampai sekarang saya masih sering kaget saat melihat label harga baju anak merek kesayangannya Matteo yang harganya kadang lebih mahal dari harga baju mamanya.

Sampai hari ini saya masih sulit menemukan penjelasan dari pertanyaan yang satu ini. Pertanyaan yang satu lagi yang sampai sekarang belum ada jawabannya, biasanya barang-barang fashion untuk anak-anak laki-laki, seperti baju, tas, sepatu, lebih mahal dari barang-barang kebutuhan anak perempuan dalam ukuran size dan usia yang sama.

Sering rasanya tidak rela, karena barang-barang untuk anak perempuan itu cantik-cantik banget dan selalu ada yang baru yang lagi tren. Sementara barang-barang untuk anak laki-laki cenderung membosankan dan selalu lebih mahal walaupun barangbarang anak laki-laki perputaran modenya tidak secepat tren di kalangan anak perempuan. Itu baru barangbarang fashion , gadget, dan mainan.

Begitu juga urusan boys toys , belum urusan gadget . Sampai detik ini, saya tidak punya laptop touch screen . Aless sudah lebih dulu punya setahun yang lalu dan saya selalu menutup mata rapat saat melihat dia lebih banyak main game daripada tujuan semula membeli laptop itu, untuk belajar.

Carlo juga begitu. Saat meminta handphone baru, selalu jelas banget label dan spesifikasinya. Saat saya melihat list spesifikasi dan seri handphone yang dia tulis di selembar kertas, langsung saya tanya sama dia dengan muka polos saya, ini maksudnya apa ya? Jawabannya sederhana, mama tanya saja sama sales - nya!

Saya sih bersyukur, anak-anak saya masih dalam ambang batas normal. Mereka tidak pernah meminta di luar batas kemampuan orang tuanya. Dari kecil, mereka juga tidak pernah sampai bertingkah yang membuat malu orang tuanya, seperti adegan guling-guling jejeritan di mal, seperti yang pernah beberapa kali saya lihat.

Mereka sepertinya selalu tahu cara meminta terbaik dan bisa membuat mamanya merasa bersalah banget jika tidak segera dipenuhi. Buat pelaku ritel di Indonesia, saya selalu bilang, anak-anak adalah selamanya pangsa pasar yang potensial di negeri ini, apalagi kebudayaan orang Indonesia memanjakan anak.

Perilaku konsumen Indonesia yang satu ini memang boleh dibilang akut jika dibandingkan dengan perilaku konsumen di negara lain, apalagi dibanding negara-negara maju seperti Jepang. Anak-anak Indonesia itu manja dan konsumtifnya kadang kebangetan. Sering banget mereka memiliki barangbarang yang sejujurnya belum waktunya dan belum layak mereka miliki karena mereka kan belum bisa cari uang sendiri.

Kalau sudah bisa cari uang sendiri, pasti lain ceritanya dan yang jelas, mereka pasti bukan anakanak lagi. Anak Indonesia top abis deh. Enjoy The Juicy Market, Kiddos !

Miss Jinjing
Konsultan Fashion
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4994 seconds (0.1#10.140)