Waspadai Indikator Makro ekonomi

Selasa, 27 Januari 2015 - 09:41 WIB
Waspadai Indikator Makro ekonomi
Waspadai Indikator Makro ekonomi
A A A
Andhika Putra Pratama
Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa, Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia


Tahun 2015 menjadi tahun yang krusial bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Widodo. Mengingat tahun inilah segala janji kampanye pada pemi-lihan presiden mulai untuk dijalankan.

Sebelum memasuki 2015 pun, pemerintahan baru sebenarnya sudah diuji oleh beberapa masalah ekonomi di tengah usaha untuk memulai fondasi pembangunan infrastruktur yang gaungnya marak dalam beberapa waktu terakhir.

Berbagai indikator makroekonomi di 2014 serta beberapa tahun yang lalu, menjadi peringatan sekaligus pedoman (asumsi) bagi pemerintahan baru dalam melakukan akselerasi pembangunan nasional. Setidaknya ada tiga indikator makroekonomi yang harus diwaspadai oleh pemerintahan baru dalam memasuki 2015.

Yang pertama adalah rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2007, rasio utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) adalah 14,1% dari total PDB. Pada kuartal III tahun 2014, data Bank Indonesia menunjukkan posisi rasio utang terhadap PDB Indonesia mencapai 34,68% dari total PDB.

Hal ini patut diwaspadai setelah melihat bagaimana nilai tukar rupiah pada Desember 2014 sempat terempas ke sekitar Rp12.700/USD. Pengendalian akan utang dan nilai tukar akan berpengaruh pada biaya pembangunan yang akan dilaksanakan di tahun 2015. Yang kedua adalah mewaspadai defisit transaksi berjalan Indonesia. Sejak 2012, transaksi berjalan (current account) Indonesia selalu berada pada teritori negatif (defisit).

Hal ini tidak boleh terus dibiarkan mengingat skenario pasar internasional adalah menciptakan minimum border/borderless economy dalam perdagangan antar negara. Untuk itu, peningkatan daya saing untuk menggenjot ekspor serta memperkuat industri dalam negeri untuk meminimali-sasi impor perlu menjadi agenda 2015, sehingga perekonomian dalam negeri menjadi lebih kuat dalam menghadapi era pasar bebas ke depan.

Yang terakhir adalah meningkatkan ketimpangan (inequality) di Indonesia. Tahun lalu Indonesia mencatatkan angka ketimpangan (koefisien gini) tertinggi sejak merdeka yaitu senilai 0,41. Hal ini mengkhawatirkan mengingat Indonesia adalah salah satu negara emerging market di dunia internasional yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah sempat krisisnya Amerika Serikat dan negaranegara di Eropa.

Indikasi adanya pertumbuhan yang tidak inklusif harus diselesaikan karena sesuai dengan janji pemerintahan baru untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Daerah-daerah perbatasan dapat menjadi sasaran utama dalam usaha penurunan ketimpangan di Indonesia, sehingga nantinya diharapkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih inklusif dan dinikmati seluruh masyarakat Indonesia.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4479 seconds (0.1#10.140)