Ketimpangan sebagai Tantangan

Selasa, 27 Januari 2015 - 09:39 WIB
Ketimpangan sebagai Tantangan
Ketimpangan sebagai Tantangan
A A A
Langitantyo Tri Gezar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Aktivis Forum Indonesia Muda. Universitas Indonesia

Di atas kertas, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, yakni tumbuh 5,5% pada 2014 dan ditargetkan akan tumbuh 5,8% di tahun ini.

Secara de facto, Indonesia juga menjadi ekonomi terbesar ke-10 di dunia (WorldBank, 2014). Akantetapi, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Ketimpangan (inequality ) semakinlebarantarasikaya dansimiskin. berbagai paket kebijakan ekonomi yang diterapkan belum mujarab guna menjawab tantangan ketimpangan yang terjadi.

Data BPS menunjukkan bahwa Koefisien Gini Indonesia sebagai tolok ukur ketimpangan pendapatan, naik dari 0,32 pada 2002 menjadi 0,41 pada 2013. Angka ini menjadi salah satu yang tertinggi dibandingkan negaranegara berkembang lainnya. Bappenas menunjukkan ketimpangan lainnya melalui data distribusi pendapatan antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dimanapada 1985 perbandingannya sebesar 54,4%:45,6%, dan menjadi lebih timpang pada 2012 sebesar 57,6%:42,4%.

Semakin ironis jika kita membandingkannya antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, yang tak banyak berubah selama 12 tahun terakhir, yakni berkisar 83%:17%. Menurut Joseph E Stiglitz dalam The Price of Inqeuality (2012), ketimpangan pendapatan lebih kerap terjadi sebagai akibat dari keputusan politik daripada konsekuensi dari berjalannya kekuatan pasar dan makro ekonomi.

Makajika pemerintahan Jokowi-JK tidak ingin dicap sebagai pemerintahan yang gagal, mereka harus memiliki political-will yang kuat dan berpihak kepada rakyat miskin. Thomas Piketty (2014) merekomendasi untuk menarik pajak tinggi bagi orang-orang kaya sebagai kemungkinan terbaik dalam menanggulangi ketimpangan yang terjadi.

Nantinya, hasil pajak tersebut akan didistribusikan kepada kelompok miskin dalam bentuk subsidi dan perlindungan sosial. Hal ini bisa jadi mudah, namun bisa juga sulit, apalagi jika pemerintahan Jokowi- JK terjerat oleh politik transaksional bersama konglomerat- konglomerat rakus.

Di samping itu, pemerataan pembangunan yang dimulai dari pinggiran juga diperlukan demi mengikis ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Tol laut dan otonomi daerah belum cukup memadai, atau belum terbukti mampu menanggulangi ketimpangan yang ada.

Dalam hal ini, political -will pemerintahan Jokowi- JK untuk konsisten mendorong ekonomi kerakyatan, dan bukan konglomerasi sedang diuji. Ketimpangan yang terjadi menjadi tantangan yang harus dijawab segera.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7229 seconds (0.1#10.140)