Komunitas Muslim di Barat Tepis Stigma Teroris

Senin, 26 Januari 2015 - 12:46 WIB
Komunitas Muslim di Barat Tepis Stigma Teroris
Komunitas Muslim di Barat Tepis Stigma Teroris
A A A
GENCARNYA ancaman teror yang melanda negara-negara di Eropa belakangan ini menimbulkan sentimen dan isolasi sebagian masyarakat nonmuslim di Eropa, Amerika, dan beberapa negara lain terhadap masyarakat muslim.

Ini karena para pelaku terorisme kerap menggunakan dalih agama dalam melakukan aksinya. Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan kebencian, permusuhan, apalagi pembunuhan kecuali di medan perang. Apa sebenarnya makna terorisme dan apa itu teroris? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan.

Sedangkan teroris merupakan pelaku kekerasan dalam peristiwa terorisme. Sayang, kini istilah dan asosiasi terorisme dan teroristelahmenyempit. Banyak orang berpandangan bahwa terorisme hanya dilakukan kelompok Islam. Nama-nama dan berbagai istilah dalam Islam yang semula bermakna positif, lambat laun juga ikut negatif karena sering bersanding dengan peristiwa pembunuhan dan pengeboman.

Padahal, setiap orang yang menciptakan ketakutan melalui kekerasan, baik oleh perorangan ataupun golongan, pada hakikatnya bisa disebut teroris. Label ini tidak hanya berlaku bagi ekstremis yang menyebut dirinya berasal dari kalangan muslim. Di media Barat, setiap aksi serangan yang dilakukan umat muslim oposisi pemerintah yang pro-Barat kerap disebut teroris. Di Timur Tengah, Hamas, Alqaeda, dan Taliban disebut teroris.

Sedangkan di wilayah belahan lain, kelompok radikal selain Islam jarang dicap teroris. Karena itu, tidak heran jika penggunaan kata terorisme sering disebut timpang. Fenomena ini disadari minoritas komunitas muslim di Eropa, Asia, atau Amerika. Imbasnya, mereka kerap dikucilkan dan dibenci beberapa orang.

Ironisnya, penganut Islam juga seakanakan disebut bukan bagian dari orang Eropa atau Amerika meski mereka asli orang sana. Sejak serangan teroris pada 11 September 2001 di AS hingga kasus baru serangan terhadap majalah kontroversial Charlie Hebdo di Paris, Prancis awal 2015, komunitas muslim di AS dan Eropa terus berupaya memulihkan nama baik Islam. Mereka membantah stigma bahwa Islam adalah teroris.

Langkah yang dilakukan yaitu menjalin kerja sama dengan pihak kepolisian maupun agen intel setempat untuk ikut melawan terorisme. Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe juga menegaskan, tidak ada hubungan antara terorisme dan Islam. Namun, semua pihak perlu bahu-membahu memberantas ekstremis.

Aziz Poonawalla, penulis muslim di Beliefnet.com , juga menepis tuduhan bahwa komunitas muslim terlibat dalam tindakan terorisme seperti disebut beberapa orang. Kenyataannya, komunitas muslim di AS justru ikut membantu mencegah aksi terorisme. “Kami bahkan berada di garis depan untuk melawan terorisme. Buktinya, sejak Oktober 2001 sampai sekarang, kami berhasil membantu polisi menangkap beberapa tersangka teroris sebelum mereka berhasil melancarkan aksi,” sebut Poonawalla.

Komite Kebijakan Publik dan Advokasi Muslim Amerika (MPAC) mengonfirmasi semua data yang dilaporkan Poonawalla. “Ya, komunitas muslim telah membantu petugas keamananAS untukmencegahdua dari lima plot ancaman Alqaeda sejak serangan 11 September 2001. Mereka juga membantu mencegah satu dari dua plot ancaman yang sama sejak 2009,” bunyi pernyataan MPAC.

Direktur Agen FBI Robert S Mueller juga mengapresiasi kerja sama yang dilakukan komunitas muslim AS. “Saya akui 99,9% muslim Amerika, Sikh- Amerika, dan Arab-Amerika sepatriot warga asli Amerika di sini. Banyak kasus yang berhasil kami tangani atas hasil kooperasi dengan komunitas muslim,” pungkas Mueller, dilansir theamericanmuslim.org.

Muh shamil
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4969 seconds (0.1#10.140)