Bangkit, Meski Harus dengan Merangkak

Minggu, 25 Januari 2015 - 12:13 WIB
Bangkit, Meski Harus dengan Merangkak
Bangkit, Meski Harus dengan Merangkak
A A A
Andika Surachman dan istrinya, Anniesa Desvitasari Hasibuan, merintis usaha biro perjalanan, First Travel, dari nol. Berbagai cobaan, hinaan, serta ujian tak menyurutkan tekad mereka untuk terus bertahan dan berjuang. Terbukti, meski terbilang baru di percaturan dunia travel, perkembangan bisnis First Travel melesat.

Hal itu tampak dari jumlah peserta ibadah (jamaah) yang terus naik setiap tahun. Tercatat, ada 800 orang (2012), 3.600 orang (2013), 15.700 orang (2014), dan jamaah yang akan diberangkatkan pada tahun ini berjumlah 35.000 orang. Angka ini bisa mencapai 38.000 orang pada akhir 2015. Proyeksi omzet 2015 minimal USD40 juta.

Untuk melancarkan bisnis, mereka dibantu 60 karyawan serta ditunjang oleh kantor cabang di London, Inggris.Dalam beberapa bulan ke depan, pasangan ini berniat membuka kantor cabang baru di Jakarta. Bagaimana kisah selengkapnya? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan Andika dan Anniesa saat dijumpai di kantor pusat First Travel di kawasan Cimanggis, Depok, beberapa waktu lalu.

Dari seorang pegawai minimarket kini menjadi pengusaha travel. Apa saja yang sudah Anda lalui hingga mencapai tahap ini?

Perjalanan yang panjang, berharga, dan “mahal”. Sejak 2004, hingga memutuskan menikah pada 2005, saya bekerja sebagai pramuniaga di sebuah minimarket. Memasuki masa pernikahan saya memutuskan pindah bekerja dengan status magang di sebuah bank. Saya kerja apa saja, mulai mengurus administrasi hingga beresberes kantor dengan gaji harian Rp50.000.

Setahun menikah kami dianugerahi seorang anak. Pada saat itu kami sama-sama sedang berkuliah dan tinggal di rumah orang tua Anniesa. Selama tiga tahun kami menjalani hidup sederhana. Pada 2008 ayah Anniesa meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri serta tiga adik Anniesa yang masih sekolah. Ayah mertua saya merupakan pengusaha batu bara dan tulang punggung keluarga. Jadi, begitu beliau meninggal kondisi keluarga menjadi goyang.

Terlebih, tak ada peninggalan usaha yang bisa diteruskan. Berniat untuk bertahan, saya dan istri memulai usaha sejak 2008 dengan berjualan pulsa, seprei, dan burger . Modalnya dari menggadaikan sepeda motor sehingga mendapatkan uang Rp2 juta. Namun, usaha tersebut tidak berjalan baik.

Pada 2009 kami berkeputusan mendirikan CV First Karya Utama yang bergerak di bidang biro perjalanan. Ternyata keberuntungan belum juga berpihak kepada kami. Dari 2009-2011 kondisi kami statis. Dalam rentang waktu tersebut kami mengalami berbagai ujian bertubi-tubi. Berkali-kali kami terkena tipu. Berkali-kali juga kami bangkit.

Pengalaman tertipu seperti apa yang kalian alami?

Pada 2011 seorang teman merekomendasikan enam orang untuk naik haji melalui CV saya. Enam orang tersebut sudah menyerahkan paspor dan membayar USD5.000 tiap orang. Ternyata, paspor dan uang mereka malah dibawa kabur oleh teman saya itu. Akhirnya terpaksa kami harus ganti rugi ke klien dengan meminjam sertifikat rumah karyawan dan menggadaikan mobil.

Bisa dibilang peristiwa penipuan ini merupakan nominal terbesar dari sekian penipuan yang kami alami. Selang beberapa bulan kami lagi-lagi tertipu. Waktu itu kami menang tender dari BII untuk memberangkatkan lebih dari 200 karyawan ke Bali. Nilai proyeknya mencapai Rp700 juta- 800 juta. Link tender tersebut kami dapatkan dari seorang teman.

Sebagai bentuk balas budi, kami memberikan kepercayaan untuk mengurusi setengah tiket dari jumlah keseluruhan. Semalam sebelum berangkat kami ditelepon bahwa setengah dari jumlah tiket belum tersedia. Saat itu kami shock . Saking depresinya, kami yang saat itu berada di sebuah mal, sempat tebersit untuk bunuh diri.

Kami ingin menyudahi semuanya dengan terjun mengendarai mobil dari parkiran mal tersebut. Kami berada di parkiran mobil cukup lama dan saling memandang. Dalam keadaan hening, terbayang wajah anak, ibu, adik-adik yang membutuhkan kami. Kami pun mengurungkan niat dan menghubungi semua teman yang kiranya bisa membantu. Beruntung, ada seorang teman ticketing yang bersedia membantu, asalkan ada jaminan.

Akhirnya sepeda motor yang baru kami DP (down payment ) dijadikan sebagai jaminan. Semalaman kami mengurusi persoalan tiket hingga paginya semua klien bisa diberangkatkan. Saya rasa inilah titik terendah kami berdua secara mental karena akumulasi cobaan yang datang tanpa jeda. Saat itu usia kami masih muda, namun dihadapkan pada situasi dan tanggung jawab sedemikian rumit. Anda bisa bayangkan?

Apakah kalian tidak kapok menjalankan usaha?

Kami tidak ada pilihan lain. Saat mendirikan CV pada 2009 kami menggadaikan rumah agar mendapatkan pinjaman dari bank sebesar Rp50 juta. Jumlah tersebut kami pergunakan untuk mendirikan CV, menyewa kantor, membeli perlengkapan dan peralatan kantor, hingga biaya operasional.

Sayang, kami hanya bisa bertahan enam bulan. Tak bisa membayar cicilan, pihak bank menawari kami agar rumah kami dijual saja. Kebetulan ada yang berminat membeli rumah tersebut. Setelah dikurangi bunga, penalti, dan sebagainya alhasil kami mengantongi Rp10 juta. Dengan uang Rp10 juta tersebut kami boyong semua keluarga menempati sebuah rumah petak untuk dihuni tujuh kepala.

Dalam keadaan terimpit, lingkungan pun turut menyudutkan dengan segala cercaan dan hinaan yang dilontarkan untuk kami. Hal tersebut justru semakin mencambuk kami agar bangkit dan menunjukkan bahwa kami bisa. Makanya pilihan yang ada hanya maju terus. Entah berapa lama harus ada di situasi seperti ini, kami tidak tahu. Satu hal yang kami tahu, hanya terus melangkah. Dari rumah petakan ini kami berjuang lagi dari nol dengan door to door menawarkan jasa travel.

Bagaimana akhirnya Anda melirik usaha travel?

Kami memulai usaha saat berusia muda. Layaknya anak muda, masih mencari jati diri dan masanya belajar. Meski kena tipu terus, kami beruntung beralih ke usaha travel. Saya rasa beralih ke travel merupakan inisiatif keterpaksaan yang paling bagus yang kami ambil hingga sekarang.

Selain itu, kami punya mimpi bisa berkeliling Indonesia, bahkan dunia. Jadi, kami buka travel sehingga jika ada klien kami bisa menemani. Sembari kerja, sembari jalan-jalan. Proses merintis usaha travel ini bukan main perjuangannya. Selain modal yang kerap minus karena tertipu kami juga harus tahan banting membangun kepercayaan klien. Bahkan kami sempat dikatakan travel tempe.

Kami tidak hiraukan hal tersebut. Kami jalani saja dan berharap ada pertolongan Allah. Hingga pada akhirnya kami mendapatkan klien untuk ke Bali, kemudian ada permintaan dari Bank Indonesia (BI) untuk memberangkatkan sembilan karyawan ke Vietnam. Berawal dari sembilan orang tersebut, pada akhir 2011 datang permintaan umrah dari 127 pegawai BI dan 50 pegawai Pertamina. Itulah awal harapan kami. Kami pun berganti dari CV menjadi PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel).

Apakah sebelumnya sudah memiliki pengalaman memberangkatkan jamaah umrah?

Tidak sama sekali. Kami belum pernah umrah dan tidak paham selukbeluk umrah. Jadi modal nekat saja. Kami melihat tawaran umrah ini sebagai peluang. Jadi kami ambil dulu, baru memikirkan tindakan selanjutnya. Kami menggali segala sesuatu tentang umrah secara autodidak dengan membaca dan mencari informasi.

Ketika membawa jamaah pertama kali, kepanikan sebenarnya muncul sejak keberangkatan. Begitu landing , kami kebingungan harus menuju gate berapa. Akhirnya saya berlari untuk bertanya ke petugas setempat, sementara istri berusaha menahan jamaah di belakang.

Peristiwa lucu lain datang saat akan mengenakan kain ihram. Sebagai pemimpin rombongan, para jamaah laki-laki bertanya kepada saya. Saya pun panik dan mencoba mengulur-ulur waktu sambil memperhatikan jamaah lain yang sedang memakai kain ihram. Pokoknya kami mencoba bertingkah seperti ahli dan sudah profesional saja.

Strategi pemasaran First Travel seperti apa?

Promosi kami dari mulut ke mulut karena klien merasa puas dengan pelayanan kami. Untuk menjaga kepuasan klien, kami berusaha komitmen dengan apa yang kami ucapkan. Kami sempat memegang jamaah haji, tapi untuk sekarang kami fokus pada umrah saja.

Apa target ke depan?

Untuk sekarang kami fokus hanya memegang umrah. Kami ingin menjadikan First Travel besar dengan membuka cabang di semua daerah. Kami juga terus berekspansi seperti jasa handling di Bandara Soekarno-Hatta.

Apa pelajaran yang bisa Anda petik jika melihat kembali perjalanan Anda?

Mau seberapa dalam kita jatuh, kita tetap harus bangun, meski harus dengan merangkak. Rintangan atau hambatan pasti ada, jadi jangan menyerah. Memang benar adanya bahwa pengusaha harus kena tipu dulu baru bisa belajar. Satu lagi, harus pintar melihat peluang, sekecil apa pun peluang tersebut.

Ema malini
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7106 seconds (0.1#10.140)