Ada Rupa,Ada Harga

Sabtu, 29 November 2014 - 14:59 WIB
Ada Rupa,Ada Harga
Ada Rupa,Ada Harga
A A A
Maraknya sekolah internasional yang berdiri di Ibu Kota, menandakan bahwa permintaan masyarakat terhadap sekolah internasional semakin tinggi. Animo yang tinggi kebanyakan datang dari para orang tua yang berasal dari kalangan menengah atas, ekspatriat, atau diplomat. Padahal, biaya untuk bisa masuk di sekolah-sekolah internasional tidak bisa dikatakan murah.

Meski begitu, tampaknya biaya bukan alasan untuk tidak menyekolahkan anak mereka dengan sistem pendidikan berstandar internasional. Bahkan, untuk pendidikan prasekolah di sekolah internasional perlu merogoh kocek yang dalam.

Ada rupa, ada harga, begitu kiranya kiasan yang tepat untuk mendeskripsikan sekolah internasional. Harga yang dikeluarkan sesuai dengan pengajaran dan fasilitas yang didapatkan. Hal tersebut diakui penyanyi Ussy Sulistiawaty. Menurut dia, biaya itu relatif. Ia menyekolahkan anak bungsunya, Shakeela Eleanor Ameera, di pre-school Kinderland sejak usia 6 bulan.

Ia memilih preschool Kinderland lantaran jarak yang dekat dari rumah. “Cukup lima menit dari rumah,” begitu kata dia. “Ketiga anak saya memang disekolahkan sejak usia 6 bulan. Daripada mereka main, lebih baik disekolahkan dan pemahaman bahasa asing seperti Inggris dan Mandarin mereka lebih cepat jadi,” kata Ussy saat dihubungi KORAN SINDO.

Walau sekolah internasional, ilmu pemahaman agama termasuk membaca Alquran tetap ada. “Jadi, tidak lupa agama,” ujarnya. Penyanyi Rio Febrian lebih memilih untuk menyekolahkan anak sulungnya, Jamaika Fosteriano Febrian, di sekolah swasta di sekitar kediamannya. Alasannya, lokasi rumah dengan sekolah yang tidak terlalu jauh. Hal terpenting, yaitu Jame, panggilan Jamaika, merasa senang belajar di sekolah tersebut.

Sekolah ini berkonsep outdoor dengan banyak kegiatan alam. “Jame sempat beberapa kali trial dan dia paling nyaman di tempat yang sekarang,” kata Rio saat dihubungi KORAN SINDO. Menanggapi menjamurnya sekolah internasional, Rio merasa hal tersebut hak penuh setiap orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah internasional.

“Bagi saya, jika saya tidak yakin nanti bisa menyekolahkan ke luar negeri, lebih baik mencari kurikulum yang mendukung talenta lain di luar akademis. Hal terpenting kurikulum dan anaknya nyaman,” ujar Rio. Menurut pemerhati anak Seto Mulyadi, metode pengajaran prasekolah harus yang menyenangkan.

Hal ini mengingat bahwa anak-anak di usia prasekolah sangat gemar bermain. Lembaga pendidikan prasekolah internasional Discovery Center, misalnya, mengusung konsep play experience and discovery. Di sini anak-anak dibiarkan aktif terlibat dalam proses pengalaman belajar secara alamiah dan menyenangkan.

Tak masalah jika mereka melakukan kesalahan, toh namanya masih belajar. Sebagai pendukung, disediakan berbagai fasilitas seperti taman yang berisi aneka permainan dan learning center. Anak-anak ini diperbolehkan untuk mencoba berbagai hal sebagai wujud kreativitas dan ekspresi diri. Meski begitu, aktivitas anak-anak ini tetap terarah sesuai program yang diterapkan.

Rentang usia anak yang “bersekolah” di sini dari 1-6 tahun. Untuk usia 1-2,5 tahun, belajar di kelas toddler dengan didampingi orang tua. Para bayi lucu ini bisa bertemu dan bersosialisasi dengan anak seusia mereka. Dalam waktu belajar 75 menit, mereka bisa melakukan banyak hal, seperti bermain di area luar hingga bermusik, termasuk snack time.

Sementara, program prasekolah (usia 2-6 tahun) terdiri dari Reception (usia 2-3 tahun), Juniors (usia 3-4 tahun), Seniors (usia 4-6 tahun), dan Kindergarteners (usia 5-6 tahun). Selain Discovery Center, ada pula New Zealand International School (NZIS) Jakarta yang metode pengajaran TK-nya mengacu pada dunia bermain anak.

Sementara, untuk kurikulumnya berdasarkan pada Te Whariki, yaitu Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini di Selandia Baru. Terdapat empat prinsip dasar dalam pembentukan pembelajaran di pusat pembelajaran anak usia dini. Mencakupi pemberdayaan, pengembangan holistic , keluarga dan komunitas, serta hubungan. Setiap sekolah memiliki metode dan kurikulum pengajaran yang berbeda.

Misalnya Kinderfun Jakarta yang mengaryakan guru-guru untuk membuat kurikulum berdasarkan tema mingguan. “Untuk metode pengajaran anak-anak usia 1-3 tahun, sifatnyalearning by doing seperti membuat art dan craft . Selain itu, ada juga aktivitas gym ,” ujar salah seorang pengajar Kinderfun Cempaka Reno Wulan saat dihubungi KORAN SINDO.

Sementara untuk anak usia 3-5 tahun, sudah mulai diberikan pelajaran bahasa Inggris, matematika, geografi, ilmu pengetahuan, eksperimen sains, art dan craft , serta gym . Lebih lanjut Cempaka mengatakan, jumlah guru di masing-masing kelas berbeda-beda. “Perbandingan guru dan murid, yaitu 1 guru untuk 6 orang anak. Seperti di kelas Kindergarten 1 terdapat 7 anak dan 2 guru,” sebut Cempaka.

Ema malini
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5860 seconds (0.1#10.140)