Perintah Jokowi kepada Menterinya

Rabu, 26 November 2014 - 10:38 WIB
Perintah Jokowi kepada Menterinya
Perintah Jokowi kepada Menterinya
A A A
Dinamika politik Indonesia belakangan ini memang mencengangkan. Pada Senin lalu (24/11) Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan titah kepada menteri-menterinya yang cukup mencengangkan, yaitu melarang mereka untuk memenuhi undangan rapat dengar pendapat (RDP) atau undangan lainnya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sepanjang sejarah republik ini berdiri, baru kali inilah seorang kepala negara yang juga merangkap kepala pemerintahan melarang jajaran menterinya untuk bertemu dengan DPR. Minimal ada dua alasan yang diutarakan Presiden Jokowi dalam titahnya tersebut. Pertama , para menteri Kabinet Kerja baru bekerja selama satu bulan sehingga memang belum banyak yang dikerjakan dan belum ada ukuran yang bisa diperdebatkan.

Kedua, menurut Jokowi, ada urusan internal di DPR yang belum selesai dan urusan itu harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memanggil para menteri Kabinet Kerja. Untuk alasan pertama, pilihan Jokowi ini tidak elok. Karena bagaimanapun pihak legislatif, yaitu DPR, memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif baik terhadap Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) maupun terhadap jajaran menteri Kabinet Kerja.

Kalaupun dipandang bahwa masa kerja menteri yang baru satu bulan terlalu pendek untuk menyampaikan laporan hasil pekerjaan, Jokowi harus ingat bahwa dalam RDP dengan DPR juga ada berbagai masukan yang bisa didapat. DPR akan selalu bertanya arah kebijakan yang akan diambil atau yang baru saja diterapkan dan inilah fungsi checks and balances yang merupakan salah satu prasyarat dalam sistem demokrasi yang kita anut.

Jika para menteri Kabinet Kerja yakin bahwa programnya untuk rakyat dan berjalan di atas rel konstitusional, seharusnya tak ada masalah yang dikhawatirkan bila bertemu dengan DPR kapan pun itu. Sementara untuk alasan kedua memang benar bahwa DPR memiliki masalah internal, tetapi setidaknya DPR sudah tak terbelah lagi.

Walaupun saat ini DPR memang masih menunggu untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), komisi dan alat kelengkapan Dewan (AKD)-nya sudah terbentuk. Kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pun sudah menyatakan diri berdamai dan akan masuk ke semua komisi dan AKD lainnya.

Jadi jika Jokowi mempertanyakan DPR yang mana, sudah jelas bahwa hanya ada satu DPR saat ini yang konstitusional. Mempertanyakan DPR yang jelas konstitusional jelas tidak elok bagi seorang presiden. Jokowi bahkan mengatakan semoga DPR bisa segera menyelesaikan problem internalnya agar pihak eksekutif tidak bingung dalam proses komunikasi politik dengan DPR.

Tapi bagaimanapun juga larangan Presiden Jokowi ini harusnya menjadi tamparan keras bagi DPR. Perpecahan hingga mencapai deadlock akan merugikan semua pihak, termasuk institusi DPR sendiri. Sebanyak 560 anggota DPR harus berkepala dingin untuk secepatnya menyelesaikan masalah ini.

Sekalipun jalan damai sudah diambil antara kubu KMP dan KIH, harus ada semangat yang sama agar secepatnya DPR berjalan dengan kekuatan penuh, yaitu 560 orang anggotanya menjalankan fungsi idealnya sebagai pengawas eksekutif. Langkah cepat ini dibutuhkan karena secara formal dari lima partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), kesemua anggota DPR-nya belum ada yang dimasukkan ke 11 komisi yang ada.

Jalan tengah kubu KIH dan KMP adalah menambah wakil ketua komisi dan AKD, tetapi itu harus menunggu revisi UU MD3. Ketiga pilar politik negeri ini yang terangkum dalam trias politica harus memahami peran masing-masing untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sekalipun masing-masing ingin mempertahankan kepentingan institusinya, kepentingan rakyatlah yang harus dikedepankan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6852 seconds (0.1#10.140)