Bentrok Aparat TNI-Polri dan Revolusi Mental

Senin, 24 November 2014 - 10:02 WIB
Bentrok Aparat TNI-Polri dan Revolusi Mental
Bentrok Aparat TNI-Polri dan Revolusi Mental
A A A
Laode Ida
Sosiolog di Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ, Mantan Wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009; 2009-2014

Masyarakat kembali dipertontonkan oleh perilaku buruk dan memprihatinkan dari segelintir oknum aparat TNI dan kepolisian.

Betapa tidak. Seharusnya kalangan aparat dari kedua instansi yang bertugas khusus di bidang keamanan dan penegakan hukum itu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat rakyat, justru mereka sendiri yang membuat rakyat jadi korban termasuk warga sipil yang terkena peluru nyasar saat terjadi tembak menembak (Rabu, 20/11/2014).

Bahkan, situasi jadi gawat sehingga wagub Kepri sempat diamankan di Markas Brimob Batam. Peristiwa ”percobaan adu kuat dan nyali” antara oknumoknum tentara dan polisi di Batam itu merupakan yang kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir. Barangkali memang ada saling keterkaitan dari bentrok kali ini dengan yang terjadi persis dua bulan lalu (21/9/2014), bagian dari dendam yang hanya dinyatakan selesai di permukaan melalui pendekatan formalgaris komando, sementara akar masalah atau luka bagian dalamnya tak terselesaikan.

Sementara kedua kelompok aparat itu berada di dalam suatu kawasan yang sama, di mana secara psiko-sosiologis memiliki peluanguntukselalubergesekan dengansemangat emosionaltertentu. Ketika ada sedikit masalah, sakit hati atau dendam dari salah satu pihak, maka hanya tunggu faktor pemicu saja (dan itu bisa direkayasa) untuk terjadinya kontak fisik secara terbuka.

Karena masing-masing memiliki arogansi dengan kekuatan solidaritas pasukan berikut perlengkapan senjata, yang bilasedangmarahmakaseketika itu pula timah panas bisa diarahkan pada pihak yang dianggap sebagai lawannya. Fakta lapangan memang, ketegangan dan konflik fisik antara oknum TNI versus polisi sudah kerap terjadi di negeri ini, baik yang bergaung nasional maupun hanya terjadi dalam skala kecil.

Catat, misalnya, bentrok antara aparat kepolisian vs anggota TNI di Makassar (November, 2010); tempur oknum-oknum TNI vs Brimob di Gorontalo (April, 2012); bentrok TNI AD Batalion 305 vs Brimob Den B Cikole di Karawang (Oktober 2013); dan amuk sejumlah personel TNI Yon Armed 15/76 Tarik Martapura, OKU Sumsel (Maret, 2013).

Semuanya menunjukkan perilaku dan tindakan tak pantas, dan sekaligus menimbulkan fenomena ketidakharmonisan dari hubungan di lapis bawah dari kedua jajaran itu. Dari sejumlah kasus bentrokan itu, sebenarnya faktor penyebabnya sangat sederhana, termasuk seperti dua kali tragedi di Batam itu, yakni lebih berangkat dari persoalan individu aparat di lapangan baik saat jalankan tugas maupun sedang dalam urusan pribadi.

Kasus di OKU, Sumsel, misalnya, pemicunya berawal dari salah paham dari dua orang aparat yang masih tergolong usia muda, di mana mereka saling terhasut emosi lalu adu fisik dan ternyata salah satunya (oknum polisi) mengeluarkan senjata api lalu menembak oknum TNI, Heru Octavianus (yang sedang tak berpakaian dinas), hingga tewas.

Maka selanjutnya terjadilah amuk kolektif personel dari pihak korps (alm.) Heru Octavianus yang menimbulkan korban jiwa manusia (5 orang) dari materi dari pihak kepolisian di OKU. Renungkan pula penyebab terjadinya bentrok di Batam terakhir ini, yang dikabarkan berawal dari saling lirik oknum-oknum dari dua pihak (TNI dan Brimob) di suatu tempat pengisian bahan bakar, lalu cekcok, dan berbuntut saling serang dengan menggunakan senjata api.

Lagi-lagi, korps atau kekuatan dari keduanya terbawa-bawa, terkesan Komandan di daerah membiarkannya. Bukankah itu buntut dari peristiwa dua bulan lalu? Yang saat itu berawal dari kejadian di tempat (yang diduga sebagai) penimbunan BBM, di mana aparat kepolisian konon sedang jalankan tugas, sementara ada oknum aparat TNI yang berada di lokasi dianggap menghalang- halangi.

Aparat polisi emosi-marah, lalu dengan gampangnya mengeluarkan tembakan sehingga kaki aparat TNI tertembusi peluru. Yang turun menyelesaikannya langsung pimpinan masing-masing dari Jakarta, dan setelah itu dianggap selesai.

*** Sederhana? Ya, begitulah cara-cara lembaga yang menerapkan prinsip komando dalam penanganan masalah, cenderung menyederhanakan. Padahal, akar masalahnya masih tetap belum terangkat. Apa itu? Pertama, fakta dua oknum aparat TNI yang sedang berada di lokasi penimbunan BBM itu, tak bisa dianggap sederhana.

Justru itulah masalah utamanya, yakni terkait dengan kesejahteraan aparat TNI. Oknumoknum aparat akibatnya jadi bagian ”alat” dari pemilik modal dengan bisnis ilegalnya. Dan jika jujur diakui, maraknya bisnis ilegal di negeri ini, seperti illegal logging, illegal fishing , illegal mining , prostitusi, judi togel, dan sejenisnya, lebih karena adanya illegal back up dari oknum-oknum aparat yang dimainkan atau sudah ”tahu sama tahu” dari bawah ke atas.

Kedua, di era reformasi ini memang aparat kepolisian sering dapat sorotan karena tingkat kesejahteraan anggota-anggota jauh lebih baik ketimbang aparat TNI, atau bahkan aparat sipil negara (ASN) lainnya. Sejumlah jenderal polisi dikabarkan memiliki rekening gendut, kendati sampai saat ini tidak pernah ditindaklanjuti atau diendapkan saja. Ini dianggap sebagai akibat dari porsi kewenangan yang kerap disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis pribadi: akumulasi materi secara ”tidak halal”.

Dalam kasus di lokasi penimbunan BBM di Batam dua lalu itu, barangkali pihak oknum TNI menganggap polisi akan coba-coba mengganggu sumber pendapatan tambahannya di satu pihak, namun di pihak lain oknum polisi pun dicurigai akan memanfaatkan kasus itu untuk memperoleh sesuatu. Maka itulah, oknum-oknum aparat berani ”pasang badan” bahkan siap mati. Itulah risiko untuk sedikit peroleh tambahan pendapatan.

Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa (1) sepanjang masih terdapat kecemburuan karena tingkat kesejahteraan yang berbeda (apalagi dari segi fisik tampak nyata) antara aparat kepolisian dan TNI, maka potensi konflik dan bentrok fisik secara terbuka akan selalu menjadi bibit subur disharmoni aparat dari kedua lembaga itu; dan (2) jika sistem pembinaan di lingkungan aparat TNI dan Polri mengabaikan faktor tempaan moral agama, apalagi pihak pimpinan berwatakhipokrit, maka potensi penyimpangan perilaku termasuk bentrok fisik antar aparat akan selalu jadi ancaman. Ini artinya, kita belum akan dapatkan aparat keamanan yang civilized.

Tentu ini diharapkan jadi bagian dari agenda revolusi mental Jokowi-JK.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5782 seconds (0.1#10.140)