Jalan Kaki dari Yogyakarta-Bekasi, Lakukan Psywar dengan Belanda

Minggu, 23 November 2014 - 06:04 WIB
Jalan Kaki dari Yogyakarta-Bekasi, Lakukan Psywar dengan Belanda
Jalan Kaki dari Yogyakarta-Bekasi, Lakukan Psywar dengan Belanda
A A A
JAKARTA - Berjalan kaki dari Yogyakarta ke Bekasi mungkin tidak pernah akan Anda lakukan. Namun, KH Noer Alie pada tahun 1947 lalu, berjalan kaki dari Yogyakarta bersama lima anak buahnya.

Dilansir dari kh-noeralie.info dalam biografi KH Noer Alie Pahlawan Nasional yang ditulis oleh Ali Anwar, berjalan kaki untuk kembali ke Bekasi setelah meminta pendapat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dilakukan KH Noer Alie bersama anak buahnya yakni Mahmud Maksum, Ahmad Djaelani As’ari, M Zainuddin Mughni, Hasan Dagang, dan seorang dari Kosambi.

Ini terpaksa dilakukannya karena saat itu karena sarana transportasi kereta api dan jalan raya sudah dikuasai Belanda.

KH Noer Alie berangkat ke Yogyakarta berencana menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk meminta pendapat karena ingin membentuk pasukan perlawanan terhadap Belanda.

Namun, saat itu Jenderal Soedirman tidak ada, hingga akhirnya KH Noer Alie meminta pendapat dari Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

KH Noer Alie ingin membentuk perlawanan terhadap Belanda dilatarbelakangi bobolnya pertahanan Indonesia mulai dari Bekasi, Tambun, Cikarang, Karawang hingga Cikampek oleh agresi militer
Belanda I pada 21 Juli 1947.

Hancurnya pertahanan membuat moral masyarakat menurun. Kepercayaan terhadap pejuang merosot. Sementara Belanda terus menerus melakukan propaganda agar seluruh rakyat berpihak kepada Belanda, sekaligus melemahkan posisi Indonesia.

KH Noer Alie yang tidak rela Tanah Airnya dikuasai penjajah, mengatur strategi untuk meningkatkan moral Indonesia.

Maka, dia menghimpun orang-orang kepercayaannya untuk melakukan musyawarah darurat di Wadas, Karawang.

Musyawarah memutuskan untuk menyusun kembali kekuatan Indonesia, melakukan perlawanan bersenjata, membangkitkan dan merawat moral rakyat agar tetap berpihak kepada Indonesia.

Bentuk perlawanannya secara gerilya, perang urat syaraf (psywar), dan propaganda. Salah satu psywar yang dilakukan KH Noer Ali yakni, memerintahkan pasukan bersama masyarakat di Tanjung Karekrok
dan Rawa Gede, Karawang untuk membuat bendera merah-putih ukuran kecil terbuat dari kertas minyak.

Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk. Maksudnya, untuk membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada perlawanan.
Kemudian KH Noer Alie dan pasukannya melanjutkan perjalanan ke desa-desa lain.

Aksi heroik tersebut membuat Belanda terperangah. Belanda yang menduga pemasangan bendera merah-putih dilakukan TNI, langsung mencari-cari Mayor Lukas Kustaryo.

Namun Lukas tidak ditemukan, sehingga Belanda marah dan membunuh sekitar 400 orang warga sekitar Rawa Gede.

Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu, di satu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat. Namun disisi lain para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar kalau di Karawang, Cikampek, Bekasi, dan Jakarta, masih ada kekuatan Indonesia.

Sedangakan citra Belanda kian terpuruk, karena telah melakukan tindakan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak berdosa.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3696 seconds (0.1#10.140)