Mengelola Rp100 Triliun

Rabu, 19 November 2014 - 12:20 WIB
Mengelola Rp100 Triliun
Mengelola Rp100 Triliun
A A A
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp2.000. Premium yang semula harganya Rp6.500/liter menjadi Rp.8.500/liter dan solar yang awalnya Rp5.500/liter menjadi Rp7.500/liter.

Secara nominal kenaikan memang hanya Rp2.000/liter, namun dampak yang ditimbulkan bisa masif. Hampir dipastikan kenaikan harga BBM bersubsidi ini akan diikuti kenaikan harga kebutuhan yang lain. Artinya, beban hidup rakyat semakin berat. Memang bukan dalam satu atau dua hari ke depan, namun sekitar beberapa hari ke depan dampak kenaikan harga BBM ini akan semakin dirasakan rakyat.

Pemerintah pun mempunyai dalih bahwa pengalihan subsidi (bahasa lain kenaikan harga BBM versi pemerintah) ini akan menyejahterakan masyarakat. Logikanya, dengan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut, pemerintah akan mempunyai dana sekitar Rp100 triliun untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan lain yang lebih produktif.

Istilah pemerintah, Rp100 triliun yang sebelumnya digunakan untuk subsidi ke premium dan solar akan digunakan untuk pembangunan dan kegiatan produktif. Dengan kenaikan harga BBM subsidi ini, tugas pemerintah tidak hanya mengatur harga barang-barang kebutuhan lain dengan cara melakukan intervensi ke pasar, namun juga bagaimana bisa mengelola uang Rp100 triliun tersebut.

Pengelolaan Rp100 triliun tersebut harus cepat dirasakan oleh pemerintah adalah keharusan. Jika tidak, tentu pemerintah akan dianggap mengelabui rakyat. Rakyat akan menuduh bahwa pengalihan subsidi sebesar Rp100 triliun tersebut hanya lip service jika pemerintah lambat dalam mengeksekusi program pengalihan tersebut.

Tentu ini menjadi tantangan bagi pemerintah, bagaimana mereka bisa mengelola Rp100 triliun tersebut untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lain. Tentu membangun infrastruktur membutuhkan waktu yang lama dan rakyat akan mempertanyakan, kapan infrastruktur tersebut benar-benar bisa dirasakan rakyat.

Pembangunan pelabuhan, jalur rel kereta api, jalan tol, ataupun pembangkit listrik membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi sudah dirasakan rakyat. Memang, ada program-program charity dari pemerintah berupa kartu sakti. Sebuah program yang sebenarnya sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi.

Program ini juga lazim digunakan selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menaikkan harga BBM bersubsidi. Artinya, langkah ini langkah yang lumrah dilakukan sebagai konsekuensi dari menaikkan harga BBM bersubsidi.

Namun, program yang menyasar kelompok masyarakat yang paling berdampak pada kenaikan harga BBM bersubsidi ini juga belum tentu berjalan dengan baik, terutama persoalan pemerataan pembagian kompensasi. Ya, program charity Presiden Jokowi adalah hal yang lazim dilakukan. Artinya, program ini bukan menjadi tantangan berarti karena rakyat bisa langsung merasakan meskipun ini program jangka pendek.

Nah, yang menjadi program jangka pendek dan harus cepat dirasakan rakyat adalah menggunakan Rp100 triliun. Pemerintah harus segera mewujudkan pembangunan dalam waktu yang cepat dan mampu mengomunikasikan pembangunan tersebut kepada rakyat dengan tepat.

Jika tidak, yang akan didapat hanyalah kritikan yang semakin keras. Mampukah pemerintahan Jokowi-JK menjawab tantangan tersebut? Memang untuk menjawab sekarang belumlah fair. Kita harus menunggu beberapa bulan ke depan. Jika dalam bulan-bulan depan belum ada geliat pembangunan infrastruktur dari dana Rp100 triliun tersebut, tentu kita semua wajib mempertanyakan kinerja pemerintah.

Pemerintah harus pintar mengelola Rp100 triliun tersebut. Jika tidak, rakyat akan mempertanyakan dan menuntut dana Rp100 triliun dari penghematan kenaikan harga BBM bersubsidi.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7795 seconds (0.1#10.140)