Mengenang Dua Pengawal Aji Saka yang Tewas

Minggu, 21 September 2014 - 05:02 WIB
Mengenang Dua Pengawal Aji Saka yang Tewas
Mengenang Dua Pengawal Aji Saka yang Tewas
A A A
Ternyata, ada cerita di balik Aksara Jawa. Kali ini, Cerita Pagi, akan mengupas asal usul Aksara Jawa. Dahulu kala, hiduplah pendekar tampan sakti mandraguna bernama Aji Saka di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah.

Dia mempunyai sebuah keris pusaka dan sorban sakti. Bukan hanya sakti, dia juga rajin dan baik hati. Membantu ayahnya bekerja di ladang dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dia selalu ditemani dua orang abdinya, Dora dan Sembada.

Suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.

“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada.

“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.

Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah Utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah Selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka.

Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.
“Tolong...! Tolong...! Tolong...!”

Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka melihat seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.

Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan cepat, dia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri.

Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu. “Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka. Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan.

Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari, dia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda.

Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain. Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.

“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.

Mendengar cerita itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Dia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar.

Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit. Akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati.

Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu. “Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.

“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas. Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi.

Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana.
"Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.

“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka. “Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.

“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.

Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia melihat Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya.

Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.

Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:

“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas sorban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan sorban yang dikenakannya.

“Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan. “Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas sorban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas.

“Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu. Aji Saka pun melepas sorban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.

“Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka.

Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, dia melangkah mundur sambil mengulur sorban itu. Anehnya, setiap diulur, sorban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan.

Saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur sorban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya.

Ketika dia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan sorbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka.

Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Dia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.

Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya. “Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu. “Daulat, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.

Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.

“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.

“Tidak, sabahatku! Tuan Aji Saka berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.

Karena merasa mendapat tanggung jawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka.

Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.

Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya. “Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.

Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya saat tiba di sana, dia melihat kedua abdi setianya telah tewas.

Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.

Namun demikian, ada referensi lain Aji Saka dan kedua abdinya berasal dari India. Mereka melakukan perjalanan jauh ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di Jawa, sempat singgah di suatu pulau di laut Jawa dan minta kepada salah satu abdinya untuk menjaga keris saktinya di pulau itu.

Mungkin legenda ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa huruf Jawa (juga, Bali dan beberapa huruf lainnya di Nusantara) adalah turunan dari huruf Brahmic dari India. Istilah Carakan berasal dari urutan abjad huruf jawa yang dimulai dari Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Lengkapnya adalah: Hanacaraka, Dathasawala, Padhajayanya, Magabatanga.

Yang merupakan huruf atau aksara Silabel (aksara sukukata) sebanyak 20 aksara. Sedangkan untuk huruf Bali hanya 18 aksara, dimana aksara dha = da dan tha = ta (Aksara Bali lumrah : Hanacaraka, Datasawala, Magabanga, Pajayanya).

Urutan aksara di atas yang berupa syair mempunyai arti yaitu: Hanacaraka = Ada Utusan, atau abdi; Dathasawala = membawa khabar atau surat; Padhajayanya = sama-sama sakti; Magabatanga = semuanya menjadi mayat.

Sumber: Kaskus, Cerita Rakyat Folk Tales Jawa Tengah Legenda, diolah dari berbagai sumber.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3258 seconds (0.1#10.140)