Quo Vadis Pilkada?

Selasa, 16 September 2014 - 16:17 WIB
Quo Vadis Pilkada?
Quo Vadis Pilkada?
A A A
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta


IMBAS ketegangan pilpres tampak masih berlanjut. Perbedaannya, jika menjelang dan saat pilpres ketegangan terjadi di arena pilpres, ketegangan pasca pilpres beralih ke lembaga wakil rakyat: DPR RI. Ketegangan politik terkini terlihat dalam pembahasan RUU Pilkada.

Sebelumnya ketegangan sudah terlihat saat pembahasan RUU MD3 yang disahkan 8 Juli 2014, sehari menjelang pilpres. Dalam rapat paripurna ini, tiga fraksi pendukung Jokowi-JK (PDIP, Hanura, dan PKB) walk out dari sidang karena tidak setuju dengan isinya, terutama mengenai mekanisme pemilihan pimpinan DPR termasuk alat kelengkapannya yang dipilih langsung secara paket. Ini berbeda dengan UU sebelumnya di mana ketua DPR menjadi hak partai pemenang pemilu legislatif.

Pembahasan RUU Pilkada juga menggambarkan terjadinya ketegangan antara kubu Koalisi Merah Putih dengan kubu Jokowi-JK. Ketegangan terjadi terkait dengan mekanisme pemilihan bupati/wali kota. Kubu Koalisi Merah Putih menginginkan pemilihan bupati/wali kota dilakukan melalui pemilihan di DPRD. Sementara kubu Jokowi-JK menghendaki pemilihan bupati/wali kota tetap dilakukan secara langsung.

Das Sollen Pilkada
Secara normatif, bila merujuk pada pendekatan klasik ilmu politik, kehadiran negara atau dalam lingkup lokal disebut sebagai pemerintah daerah (kabupaten/ kota) secara das sollen bertujuan untuk mewujudkan “kebaikan bersama” (public good, maslahat-i aliammah). Kalau konsisten dengan misi mulia kehadiran negara, mekanisme pemilihan bupati/wali kota harusnya sejalan dengan semangat tujuan hadirnya negara. Mekanismenya harus dibuat seideal mungkin untuk bisa menghasilkan pemimpin ideal, bersih, dan tidak korup.

Bukan hanya itu, sistemnya pun harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang baik dan mampu mendorong partisipasi politik publik. Mengenai RUU Pilkada, ada dua model pemilihan yang menjadi bahan perdebatan, yaitu model perwakilan yang dilakukan di DPRD dan model pemilihan langsung dengan melibatkan rakyat untuk memilihnya. Dua model ini sebenarnya ideal dan sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.
Dengan ber-khusnuzan bahwa partai merupakan institusi sah dalam demokrasi yang berfungsi menyiapkan kadernya untuk duduk sebagai anggota DPRD, mampu melakukan rekrutmen politik dengan baik, sehingga dapat menghasilkan wakil rakyat yang baik pula, diyakini bila pemilihan bupati/wali kota dilakukan oleh DPRD pun akan menghasilkan bupati/wali kota yang ideal sesuai dengan kehendak masyarakat.

Begitu juga kalau kita ber-khusnuzan bahwa rakyat Indonesia sudah cerdas dan dewasa berpolitik dan paham akan peran serta tanggung jawab politiknya, pemilihan langsung pun diyakini akan menghasilkan bupati/wali kota yang ideal, aspiratif, dan sejalan dengan kehendak rakyat.

Artinya kalau kedua model ini berjalan di atas proses dan mekanisme politik yang benar dan demokratis, apa pun model pemilihan yang dipakai akan sama-sama menghasilkan bupati/ wali kota yang baik di mata rakyat. Karenanya mempertentangkan keduanya jadi tidak penting. Sebaliknya, jika dua model ini tidak dikawal dengan baik, dua model pemilihan ini pun diyakini akan sama-sama menjadi model yang tidak ideal.

Realitas Praksis
Dua model pemilihan ini pernah dan tengah diterapkan di Indonesia. Model perwakilan berlangsung pada masa Orde Baru sampai awal Reformasi, tepatnya sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang mengubah pemilihan tak langsung menjadi pemilihan langsung. Sementara model pemilihan langsung diterapkan sejak UU Pemda disahkan sampai saat ini. Faktanya, dua model ini ternyata lebih sering menelurkan pemimpin yang tidak ideal dan korup.

Terbukti ratusan bupati/wali kota produk pemilihan tak langsung maupun pemilihan langsung mendekam di penjara. Pada era Orde Baru, pemilihan menggunakan model perwakilan, tentu dalam pengertian yang serba formalistis dan dimaksudkan untuk memperkuat hegemoni politik rezim. DPRD tak lebih hanya menjadi penyetuju atas calon pilihan rezim. Praktik model pemilihan ini berlanjut hingga awal Reformasi. Meski dengan model pemilihan yang sama, praktiknya begitu paradoks.

Bila era Orde Baru pemilihan tak langsung menghasilkan bupati/wali kota yang relatif lebih baik, meski kebanyakan dari militer, sebaliknya di era Reformasi justru tak sedikit menghasilkan bupati/ wali kota yang tidak ideal. Praktiknya juga begitu kotor, sarat money politics dengan beragam modus, mulai dari karantina anggota DPRD oleh kandidat tertentu, pembagian handphone oleh calon tertentu untuk memastikan pilihan sampai pada pembagian uang secara demonstratif. Karena model pemilihan perwakilan dinilai merusak, sebagai antitesis UU Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan perubahan model pemilihan menjadi pilkada langsung.

Kebanyakan daerah saat ini telah melaksanakan pilkada langsung sebanyak dua kali. Hasilnya, pilkada langsung juga tidak selalu mampu menghasilkan pemimpin yang baik. Bahkan lebih banyak mafsadat ketimbang maslahat-nya. Dengan logika bahwa pemilihan tak langsung di DPRD cenderung tidak demokratis dan rawan terjadi praktik money politics karena hanya melibatkan sedikit orang, pilkada langsung pun dinilai menjadi solusi.

Namun ternyata praktiknya tidak lebih baik dari pemilihan tak langsung. Praktik money politics tetap terjadi dan bahkan dalam bentuk yang lebih masif. Masyarakat pun telah dirusak oleh dan menjadi terbiasa dengan uang (suap). Bukan hanya itu, konflik vertikal juga kerap terjadi. Begitu juga konflik horizontal hampir selalu terjadi di banyak daerah.

Perlu Perbaikan Menyeluruh
Fakta bahwa dua model pemilihan yang das sollen sebenarnya bagus ini, dalam praktiknya sama-sama negatif dan merusak. Kenapa bisa terjadi? Rendahnya mentalitas negarawan dari sebagian besar politisi menjadi faktor determinan. Tentu berbeda antara politisi negarawan yang dalam melakukan aktivitas politik selalu berpikir yang terbaik untuk bangsa dan negara dan politisi bukan negarawan yang dalam beraktivitas politik selalu mengedepankan kepentingan politik individu, golongan, dan bersifat sesaat. Saya yakin politisi (Senayan) menyadari karut-marutnya sistem politik, tetapi tak juga tergerak untuk memperbaikinya secara menyeluruh. Selalu saja perubahan (bukan perbaikan) sistem politik dilakukan parsial dan sarat kepentingan politik yang bersifat sesaat.

Gaduhnya pembahasan RUU Pilkada menjadi cermin nyata rendahnya mentalitas negarawan. Politisi (Senayan) tampak tak terlihat mempunyai kemauan politik (political will) untuk melakukan perbaikan sistem politik dan sebaliknya justru terjebak pada praktik politik yang terkadang dan bahkan lebih sering secara diametral berhadapan dengan kepentingan politik publik. Kalau benar politisi (Senayan) mempunyai political will untuk melakukan perbaikan sistem politik, lakukan secara menyeluruh dengan secara fundamental berubah seluruh undang-undang politik agar senapas dengan upaya perbaikan sistem politik.

Karenanya, tidak hanya RUU Pilkada yang diributkan, tapi UU Partai Politik, UU MD3, UU Pemilu, UU Penyelenggara Pemilu, dan undang- undang lain yang mempunyai kaitan dengan politik juga harus diubah dan disinergikan. Semangatnya harus sama ke arah perbaikan sistem politik. Upaya ini harus dilakukan. Kalau tidak, jangan harap terjadi perbaikan kehidupan politik. Kalau upaya ini dinafikan, pemilihan bupati/wali kota memakai model apa pun tak akan bisa mengubah kehidupan politik lokal ke arah yang lebih baik, lebih bermartabat, mampu menekan praktik korupsi dan money politics.

Semoga ini menjadi perhatian serius politisi (Senayan) dalam membahas RUU Pilkada. Mereka tidak sekadar gaduh membahas model pemilihan: langsung dipilih rakyat atau melalui perwakilan di DPRD, tapi UU Pilkada juga harus mampu menjawab pelbagai soal yang timbul selama pelaksanaan pilkada, baik ketika masih menganut pemilihan tak langsung di DPRD maupun ketika pilkada langsung. Semoga! (ico)
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6309 seconds (0.1#10.140)