Ketika Pembatik Tulis Tergoda Penghasilan Buruh Migran

Selasa, 16 September 2014 - 09:51 WIB
Ketika Pembatik Tulis Tergoda Penghasilan Buruh Migran
Ketika Pembatik Tulis Tergoda Penghasilan Buruh Migran
A A A
TULUNGAGUNG - Jumlah pembatik tulis di Tanah Air, bisa jadi akan terus berkurang. Godaan penghasilan sebagai buruh migran menjadi salah satu penyebab para pembatik tulis, khususnya di wilayah Tulungagung, Jawa Timur, meninggalkan pekerjaan lamanya.

"Dulu, jumlah canting batik ini lebih banyak lagi. Setidaknya lebih banyak dari sekarang," kata Mudrikah (64), pembatik tulis asal Desa Mojosari, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.

Mudrikah menunjukkan canting-canting yang berserak tumpang tindih tak beraturan. Canting-canting itu terlihat usang, kotor serupa barang rongsokan. Rongga-rongganya yang didesain sebagai terowongan sempit tersumpal endapan sisa cairan malam (lilin) yang telah membeku.

Mudrikah lalu melanjutkan pekerjaannya membatik. Jari tangannya meraih satu canting yang terbesar. Canting jeblok. Sebuah peranti vital batik tulis yang mengemban tugas untuk mencipta blok warna.

Di luar itu, ada canting klowong yang digunakan untuk membuat motif lobang dan canting isen untuk motif titik. Semuanya buatan tangan terampil para pengrajin Pasar Bringharjo, Yogyakarta.

Tanpa melihat, dia celupkan canting jeblok ke dalam wajan yang setengahnya menampung rebusan cairan malam. Serupa gerak membasuh yang disusul kibasan, generasi kedua pengrajin batik Gajah Mada khas Tulungagung itu dengan cekatan menetes dan menumpahkan cairan malam ke atas pola titik dan garis.

Tidak sedetik pun tatapan matanya lepas dari permukaan kain yang beralas bilah kayu dengan kuda-kuda segitiga di kedua ujungnya.

"Zaman telah berubah. Tidak banyak lagi orang membatik. Apalagi batik tulis" ujar Mudrikah.

Dulu, di ruang bagian belakang rumah lawas bermodel limas itu dipenuhi para pembatik tulis. Jumlahnya sampai ratusan. Itulah sebabnya, Mudrikah mengatakan jumlah canting yang bertumpuk di masa silam lebih banyak dibanding masa sekarang.

Seingatnya, sebagian besar dari pembatik tulis itu adalah warga sekitar yang bekerja untuk almarhum orangtuanya, pasangan suami istri Baderi dan Marisah.

"Seingat saya, sejak zaman Jepang orangtua saya sudah membatik dan menjualnya sebagai dagangan. Adapun nama Gajah Mada itu mengacu dari jalan Gajah Mada, di mana kami bertempat tinggal," paparnya.

Tidak diketahui pasti kapan mulainya, banyak sumber getok tular menyebutkan almarhum Baderi dan Marisah lah yang pertama kali membawa tradisi batik tulis di Tulungagung.

Batik Gajah Mada menonjolkan khas penyatuan beragam corak. Sejumlah gambar ikan, ayam, aneka buah buahan, dan tanaman disatukan dalam satu motif batik. Spirit penyatuan ini terinspirasi dari Sumpah Palapa yang menyatukan nusantara.

Ada motif mukti. Kemudian pola lancur, jarat asem, kawung, dan barong. Selain ungu, warna yang mendominasi Batik Gajah Mada adalah hijau dan biru. Saat itu, kata Mudrikah, membatik bukan sekadar menjalankan motif ekonomi.

Mereka yang rela duduk berjam-jam untuk meludeskan tiga ons cairan malam untuk selembar kain mori adalah orang orang yang memiliki dedikasi. Apa yang mereka lakukan dengan tujuan melestarikan budaya. "Termasuk saya dan tiga saudara yang lain juga ikut belajar membatik tulis."

Perubahan besar terjadi saat pekerjaan buruh migran (TKI/TKW) menjadi alternatif perubahan nasib yang menjanjikan. Dari semula ratusan orang, jumlah pembatik tulis tersisa 78 orang, ditambah sembilan orang yang mengurusi pewarnaan atau kelir.

Tidak sedikit para pembatik tulis yang banting setir menjadi buruh migran daripada duduk berlama-lama hanya untuk menanti upah Rp4 ribu-Rp7 ribu per lembar kain. "Maksimal mereka bekerja per hari mendapatkan upah Rp20 ribu. Lebih dari itu sepertinya sudah tidak kuat," terangnya.

Memang, sangat manusiawi jika para pembatik tulis beralih profesi menjadi buruh migran, yang penghasilannya tentu lebih besar dari mereka. Namun, tentu kita berharap bakal bermunculan orang-orang seperti Mudrikah yang tetap melestarikan batik tulis.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8845 seconds (0.1#10.140)