Pasar BBG Terbatas

Kamis, 28 Agustus 2014 - 14:33 WIB
Pasar BBG Terbatas
Pasar BBG Terbatas
A A A
PERDEBATAN mengatasi tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus bergulir. Berbagai usulan untuk menekan konsumsi BBM yang melebihi kuota begitu indah di atas kertas, termasuk usulan paling ekstrem adalah menaikkan harga premium dan solar bersubsidi, namun buat mengimplementasikan bukanlah persoalan gampang.

Pasalnya, berbagai usulan yang diajukan ke pemerintah masing-masing punya implikasi yang boleh jadi bisa lebih rumit ketimbang menekan angka konsumsi BBM bersubsidi itu sendiri. Di antara berbagai usulan tersebut maka jalan paling lempeng sebenarnya adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Opsi itu sudah dilaksanakan pemerintah. Hanya, nilai kenaikan harga BBM bersubsidi itu belum mampu memberikan efek berarti dalam memangkas anggaran subsidi yang kini sudah merepotkan perencanaan anggaran negara.

Karena itu, pertanyaan yang menarik diajukan kepada pemerintahan baru nanti, beranikah menaikkan harga BBM bersubsidi? Memang, sayup-sayup terdengar bahwa kelak pemerintahan Jokowi-JK siap menempuh jalan tidak populer, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi untuk tahun depan.

Lalu, dana subsidi yang dipangkas tersebut diarahkan untuk pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi yang memadai buat masyarakat. Selama ini, para pengambil kebijakan sangat paham bahwa subsidi BBM sudah meleset dari tujuan mulia pemerintah alias salah sasaran.

Namun untuk meluruskan target subsidi tersebut begitu repot, sementara yang tidak berhak mendapatkan subsidi terus menikmati karena memang tidak ada aturan tegas yang melarang. Beranikah era pemerintahan Jokowi-JK menyesuaikan harga BBM bersubsidi?

Secara internal, ada tiga alasan yang harus dijawab. Relakah pasangan Jokowi-JK merusak “bulan madu” dengan masyarakat di tahun pertama ini? Bisakah meyakinkan partai pengusung dalam hal ini PDIP yang selama ini menentang kenaikan harga BBM bersubsidi?

Dan sudahkah disiapkan program yang mengatasi dampak kenaikan harga BBM kepada masyarakat yang terkena imbas langsungnya? Dan, sudah pasti hambatan di parlemen bakal menjadi ganjalan yang serius. Hal ini memang sebuah simalakama. Di satu sisi harus menaklukkan tiga hal sebagaimana disebutkan di atas.

Di sisi lain, anggaran subsidi BBM untuk tahun depan seperti dicanangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dipatok sebesar Rp291,1 triliun atau mengalami kenaikan sekitar 18,1% dibandingkan anggaran subsidi tahun ini sebesar Rp246,5 triliun.

Penetapan kuota juga terjadi kenaikan dari 46 juta kiloliter tahun ini menjadi 48 juta kiloliter untuk tahun depan. Kenaikan anggaran subsidi BBM tersebut, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Chatib Basri, ditempuh dengan asumsi bahwa tahun depan tidak ada kenaikan harga.

Bagaimana dengan program alternatif konversi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG)? Sejatinya, program ini sudah berjalan namun sayangnya masih jauh dari harapan yang didambakan. Kendala yang tak bisa ditaklukkan adalah persoalan koordinasi yang tidak sinkron di antara pihak-pihak terkait.

Akibatnya, program ini cenderung dilaksanakan secara parsial sehingga hasilnya pun terlihat bolong-bolong. Sebelumnya, Kementerian Perindustrian sudah mulai menyiapkan converter alat konversi dari BBM ke BBG yang dipasang di mobil –meski pengadaannya harus dibebankan kepada masyarakat dengan harga yang cukup tinggi- namun tidak didukung keberadaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG).

Bayangkan, sejak dicanangkan tiga tahun lalu SPBG yang terbangun masih dalam hitungan jari di wilayah Jakarta dan sekitar. Secara nasional, total SPBG terdapat sebanyak 29 unit namun hanya sekitar 15 unit yang aktif beroperasi.

Salah satu penyebab minimnya ketersediaan SPBG karena para pelaku usaha tidak tertarik menggarap bisnis tersebut. Pasalnya, investasi yang harus ditanam untuk menghadirkan SPBG besar sekali dibanding dengan pembuatan SPBU.

Masalahnya bertambah rumit ketika pasar BBG masih sangat terbatas. Untuk menciptakan pasar BBG, pemerintah dengan berbagai kewenangan yang dimiliki bisa dimulai dengan mewajibkan produsen automotif untuk melengkapi converter bagi setiap mobil yang dilempar ke pasar.

Tidak bisa hanya sekadar imbauan agar masyarakat beralih mengonsumsi BBG di tengah harga premium yang masih murah. Sekali lagi, pasar BBG wajib dihadirkan melalui berbagai kebijakan yang nyata dan tidak merepotkan masyarakat.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5027 seconds (0.1#10.140)