Industri manufaktur di ujung tanduk

Jum'at, 07 Oktober 2011 - 14:03 WIB
Industri manufaktur di ujung tanduk
Industri manufaktur di ujung tanduk
A A A
Sindonews.com - Industri manufaktur terus mengalami perlambatan karena pasar dalam negeri dibanjiri produk impor. Bahkan, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai jika kondisi industri manufaktur Indonesia saat ini semakin terpuruk.

"Meningkatnya arus impor barang jadi dan barang modal membuat banyak pengusaha nasional beralih menjadi pedagang. Pertumbuhan industri manufaktur pun akan sulit menembus angka lima persen. Padahal sebelum krisis 1997, industri manufaktur dalam negeri bisa tumbuh hingga 20 persen per tahun," kata Ketua Hipmi Erwin Aksa sebagaimana dikutip dari okezone, Jumat (7/10/2011).

Dikatakannya, banyak perusahaan besar dan menengah manufaktur terus mengalami penurunan produksi karena kalah bersaing. Banyak produsen lokal memilih menjadi pedagang karena lebih menguntungkan. "Kondisi ini akan terus terjadi jika pemerintah tidak segera mengubah kebijakannya," katanya.

Melonjaknya arus barang impor, terutama dari China membuat pengusaha manufaktur dalam negeri berpikir ulang untuk meningkatkan investasinya. Apalagi dengan adanya Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), laju barang-barang dari China makin sulit dikendalikan.

Terbukti defisit perdagangan Indonesia-China semakin melebar. Sampai Agustus 2011, total ekspor Indonesia ke China mencapai USD12,8 miliar. Sementara nilai impornya sebesar USD16,3 miliar.

Untuk menghindari industri manufaktur dari keterpurukan, Erwin meminta kepada pemerintah agar memberikan dukungannya melalui pemberian bunga yang rendah kepada para pelau sektor Usaha kecil menengah (UKM).

"Bunga 20 persen itu mahal, itu tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi oleh para pengusaha. Idealnya bunga kredit UKM 10-12 persen, lagipula rata-rata simpanan di bank hanya enam persen," tandasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi juga pesimistis jika target pertumbuhan industri manufaktur 6,5 persen sulit untuk dicapai.

Sofjan menjelaskan, pertumbuhan jumlah penduduk yang memicu tingkat konsumsi di dalam negeri semestinya mendorong pertumbuhan industri manufaktur nasional.

"Saya sendiri ragu pertumbuhan ditopang signifikan oleh peningkatan produksi. Sebab, dengan melemahnya dolar AS, tentu akan lebih murah mengimpor barang. Bisa dilihat, pasar kita lebih banyak diisi oleh produk impor," tegas Sofjan.

Pertumbuhan industri manufaktur dipengaruhi oleh empat variabel ekonomi, yakni, tutur dia, fluktuasi harga minyak dunia, tingkat suku bunga, harga ekspor, serta depresiasi dan penguatan nilai tukar rupiah.

Variabel itu, lanjutnya, tidak akan berdampak terhadap pertumbuhan industri makanan dan minuman dan pupuk yang ditopang oleh konsumsi domestik.

Untuk itu, pemerintah semestinya fokus melindungi sektor industri yang rentan terhadap gejolak ekonomi, seperti krisis yang saat ini tengah terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0097 seconds (0.1#10.140)